Jakarta, CNN Indonesia --
Percayalah, Fran Bak tak pernah membaca novel 'Eat, Pray, Love.'
Tetapi ketika suaminya yang berusia 30 tahun meninggal pada tahun 2018, wanita asal Amerika Serikat ini memulai perjalanan spiritual mirip Elizabeth-Gilbert yang membawanya melintasi Bali dan India, dan berakhir dengan dia menjadi satu-satunya wisatawan mancanegara yang diberi izin untuk memasuki kerajaan Bhutan sejak munculnya pandemi virus corona.
Duka mengantarkan Bak, sekarang berusia 70, mengenal berbagai latihan spiritual. Selama enam bulan di Bali, Bak tinggal di sebelah kafe tempat meditasi gong, sebuah tempat latihan di mana berbagai jenis gong logam digunakan sebagai bentuk terapi suara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Awalnya skeptis, lalu dia jatuh cinta pada latihan itu dan kemudian mulai melakukannya sendiri.
"Saya benar-benar terbangun suatu hari dan berkata, saya akan membawa gong ke Bhutan," kata Bak kepada CNN Travel.
Keluarga baru
Bak tidak punya ekspektasi tinggi saat tiba di Negeri Naga Petir pada akhir 2019.
Dia datang ditemani sopir, Gambo, dan pemandu wisata, Tashi, yang ditemuinya dari MyBhutan, agen perjalanan ke Bhutan yang dipilihnya.
Awalnya, Bak mengira kedua temannya yang orang Bhutan terlalu pendiam. Lucunya, mereka mengira Bak - dan gongnya - terlalu berisik.
Namun saat berkunjung ke desa asli Gambo di Nabji, Bak jatuh sakit dan penduduk desa merawatnya. Ikatan yang kuat lalu terbentuk. Sekarang, katanya, penduduk desa memanggilnya dengan sebutan 'lah', atau saudara perempuan.
Di akhir perjalanannya, kata Bak, dia, Gambo, dan Tashi "menjadi satu keluarga". Bersama-sama, mereka mengunjungi 18 dari 20 distrik di Bhutan. Setelah dia meninggalkan negara itu pada Februari 2019, mereka tetap berhubungan melalui panggilan telepon dan WhatsApp.
Bukan hanya orang Bhutan yang memenangkan hatinya. Bak jatuh cinta dengan pedesaan Bhutan yang dramatis, yang ia sebut sebagai "pemandangan dunia mimpi".
Bak bukanlah satu-satunya orang yang menemukan ketenangan di Bhutan. Pada 1970-an, saat mulai membuka diri terhadap pariwisata, kerajaan Himalaya menetapkan "Indeks Kebahagiaan Nasional Bruto".
Sebuah badan nasional ditugaskan untuk melakukan polling secara berkala kepada orang-orang Bhutan tentang sembilan "bidang utama" kebahagiaan: kesejahteraan psikologis, kesehatan, pendidikan, pemerintahan yang baik, ekologi, penggunaan waktu, vitalitas masyarakat, budaya dan standar hidup.
Pemerintah, sebuah monarki konstitusional, harus mempertimbangkan faktor-faktor ini ketika mempertimbangkan undang-undang atau kebijakan baru.
Larangan kantong plastik mungkin sedang populer di negara-negara barat, tetapi Bhutan telah melarang sejak pada tahun 1999. Tembakau juga ilegal, jadi Bhutan menyebut dirinya negara bebas rokok pertama di dunia.
"Bhutan adalah hadiah dari persembahan yang sempurna," kata Bak dari apartemen di Thimpu, di mana dia akan menghabiskan beberapa minggu ke depan sebelum berangkat ke jalan untuk melakukan lokakarya gong di desa-desa pedesaan.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Peraturan yang humanis
Pendiri MyBhutan, Matt DeSantis adalah salah satu dari sedikit orang asing yang memiliki kesempatan untuk tinggal sebagai ekspatriat jangka panjang di Bhutan.
Berasal dari Connecticut, ia bertemu Pangeran Jigyel Ugyen Wangchuck ketika mereka masih menjadi siswa bersama di sekolah persiapan Choate Rosemary Hall yang elit dan menjalin persahabatan seumur hidup di lapangan basket.
Perusahaan teknologi DeSantis bekerja untuk mendigitalkan semua peninggalan budaya Bhutan dan, karena kurangnya kedutaan AS di kerajaan, ia berperan sebagai "perantara".
Dia berperan penting dalam membawa Bak kembali ke Bhutan, sebagai uji kasus bagaimana pembukaan kembali negara itu bisa berjalan.
"Akhirnya, tiga pihak yang harus memberikan persetujuan (untuk visanya) adalah dewan pariwisata, departemen imigrasi, dan satgas Covid-19," jelasnya.
Meskipun pemerintah telah mengatakan bahwa visa untuk turis dapat diberikan berdasarkan kasus per kasus, Bak adalah visa pertama yang diberikan sejak Maret 2020 -- dan, sejauh ini, satu-satunya permohonan yang dikabuli.
Namun, untuk sampai ke Bhutan harus melewati serangkaian rintangan.
Bak harus berurusan dengan beberapa penerbangan yang dibatalkan atau dialihkan, serangkaian personel bandara yang tidak tahu dokumen mana yang dia perlukan, dan serangkaian tes virus Corona, kemudian menghabiskan 21 hari di karantina hotel di mana dia hanya meninggalkan kamarnya hanya untuk tes Covid-19.
Namun, Bak percaya semua masalah yang dialaminya itu sepadan dengan dikabulkannya perizinan untuknya.
"Saya menyadari bahwa saya sedang membuat sejarah," katanya.
"Saya tidak menyangka mendapat pesan dari orang-orang yang menyambut saya dan berterima kasih kepada saya karena datang ke negara ini. Itu membuat saya terhormat."
Media lokal menampilkan kedatangan Bak di Bhutan seperti cara mereka meliput seorang pejabat tinggi yang berkunjung di masa pra-Covid.
Di antara mereka yang mengikuti ceritanya adalah DeSantis.
"Fran adalah pelopor dalam banyak hal," katanya, "dan mercusuar harapan bagi industri pariwisata."
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
[Gambas:Photo CNN]
[Gambas:Infografis CNN]
Cara Bhutan menghadapi pandemi virus Corona
Bahkan sebelum pandemi, wisata ke Bhutan tidaklah mudah.
Di bawah kebijakan kerajaan berkonsep "Berdampak Rendah, Bernilai Tinggi", kunjungan sangat mahal dan dirancang untuk mencegah overtourism (serbuan turis).
Semua visa perjalanan harus dikeluarkan melalui perusahaan operator tur yang disetujui pemerintah, dan tarif harian wajib sebesar US$250 (sekitar Rp3,5 juta) berlaku untuk setiap pengunjung.
Setelah mendapat izin untuk kembali ke Bhutan pada tahun 2021, Bak diharuskan menjalani karantina selama tiga minggu pada saat kedatangan, meski ia satu-satunya turis di sana.
Seorang perwakilan dari pemerintah Bhutan mengkonfirmasi bahwa departemen pariwisata menawarkan untuk menutupi biaya karantina Bak, tetapi Bak memilih untuk membayarnya sendiri.
Bak menggambarkan keputusannya sebagai "cara saya menunjukkan solidaritas."
DeSantis menggunakan kunjungan Bak sebagai semacam uji kasus untuk bagaimana pembukaan kembali Bhutan bisa dimulai.
"Bhutan siap untuk bangkit kembali dengan pariwisata. Pariwisata sangat penting bagi kami dan kami melakukan hal yang benar," katanya.
Meskipun belum ada yang konkret, DeSantis mengatakan dia telah mendengar desas-desus tentang pembukaan kembali Bhutan antara Desember 2021 dan Februari 2022.
Situasi Covid-19 di Bhutan terbilang ditanganni dengan baik. Hampir 90 persen orang dewasa di kerajaan itu divaksinasi pada bulan Juli. Itu bukan prestasi kecil di negara yang banyak penduduknya tinggal di desa-desa terpencil tanpa angkutan massal.
Raja Jigme Khesar Namgyel Wangchuck memutuskan untuk melakukan perjalanan keliling negeri dengan menunggang kuda dan berjalan kaki untuk mendorong warganya mendapatkan vaksinasi.
Dia juga bertemu dengan petugas kesehatan dan relawan untuk berterima kasih kepada mereka karena telah terlibat dalam peluncuran vaksin.
Terlepas dari logistik dan tantangan menjadi satu-satunya turis, Bak tidak pernah ragu datang ke Bhutan.
"Mimpi saya dimulai di Bhutan," katanya, "dan itu tidak pernah berakhir."
[Gambas:Photo CNN]
[Gambas:Video CNN]