Hometown ChaChaCha merupakan salah satu drakor dengan rating tertinggi dalam sejarah televisi kabel.
Kisah drakor ini berawal dari Yoon Hye-jin, seorang dokter gigi yang realis dan cenderung congkak, mengalami perubahan besar dalam hidupnya dan akhirnya pindah ke desa tepi laut bernama Gongjin.
Di sana ia bertemu Hong Du-Sik, seorang lelaki muda yang bekerja serabutan membantu kebutuhan warga penghuni desa Gonjin.
Desa Gongjin digambarkan sebagai sebuah kampung yang letaknya jauh dari kota besar, dengan penduduk mayoritas berisikan keluarga-keluarga sederhana.
Kebanyakan karakter yang diceritakan berumur setengah baya, dan nenek Kim Gam-ri (diperankan olrh Kim Young-Ok) merupakan salah satu pemain pembantu yang dicintai karena sikap murah hatinya.
Nenek Gam-ri tinggal di sebuah rumah sendirian tanpa ada keluarga yang menemani. Nenek Gam-ri begitu membanggakan putranya yang sukses lulus kuliah di universitas ternama dan kemudian bekerja di kota Seoul. Apalagi dengan cucunya bersekolah di luar negeri.
Di pedalaman desa Gongjin, sambil merindukan keluarganya yang berada di kota Seoul, Nenek Gam-ri menghabiskan waktunya bekerja di pasar ikan dan bersama dua wanita lanjut usia lainnya berpartisipasi dalam menjaga keharmonisan desa Gongjin.
Desa Gongjin memang fiksi belaka - syutingnya pun sebenarnya dilakukan di Pohang - namun fenomena desa lansia benar adanya di penjuru Korea.
Silver town
Nasib desa yang menua, yang lebih miris, bisa ditemukan di sebuah desa di Nokdo, atau pulau Nok.
Pulau yang dinamakan karena bentuknya seperti rupa rusa ini terletak di kota Boryeong, di selatan Provinsi Chungcheong.
Pulau kecil yang dulunya ramai dengan nelayan-nelayan yang bekerja keras memancing ikan teripang dan abalon ini sekarang hanya berpenduduk sekitar 100 orang, dan hanya empat di antaranya anak-anak.
Selain desa di pulau Nokdo, masih banyak lagi desa-desa yang terancam punah, atau malah telah ditinggalkan dan menjadi desa kosong tidak berpenghuni. Kebanyakan dari desa-desa yang hampir kosong ini adalah pedesaan nelayan.
Silver town - mengacu pada rambut abu-abu yang biasanya dimiliki orang tua - adalah sebutan bagi pedesaan seperti ini.
Ada beberapa faktor kenapa daerah pedesaan yang digambarkan seperti Gongjin ditinggalkan oleh pemuda dan pemudinya.
Sedikitnya jumlah anak kecil dan anak muda di pedesaan seperti ini mengartikan minimnya fasilitas yang tersedia, terutama dalam hal sekolah dan pendidikan.
Seperti halnya Hong Du-Sik atau putra dari Nenek Gam-Ri, anak-anak muda dikirim orangtuanya untuk menimba ilmu di universitas di kota besar terdekat atau di kota metropolitan, seperti Seoul, Busan, Incheon, Daejeon, atau Gwangju.
Anak-anak muda pergi merantau ke kota demi kehidupan dengan fasilitas modern yang kadang langka ditemukan di daerah pedalaman. Tapi mereka juga pergi dengan beban ekspektasi dari orangtuanya untuk sukses sekolah atau berkarier di metropolitan.
Ketika Yoon Hye-Jin pindah ke desa Gongjin untuk membuka klinik gigi pribadinya, ia mengalami gegar budaya, alias gangguan yang tidak disadari oleh individu yang tiba-tiba pindah ke dalam suatu kebudayaan baru yang berbeda dari kebudayaan sebelumnya.
Yoon Hye-Jin kaget karena desa itu tidak punya servis pengiriman barang kilat, langkanya makanan Barat kelas atas, perbedaan cara berpakaian sampai upah minimum.
Apa yang dialami Yoon Hye-Jin juga dialami anak-anak muda yang sudah terlanjur menjadi "orang kota". Mereka enggan pulang kampung karena sudah terbiasa dengan gaya hidup metropolitan dan kemudahan akses kota besar.
Tidak hanya itu saja, ilmu yang mereka emban di kota besar membuat profesi dan jalan hidup mereka berubah sehingga tidak memungkinkan untuk kembali dan mencari nafkah di kampung halamannya.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
[Gambas:Infografis CNN]
Sawah gratis sampai rumah murah
Selain gaya hidup kota besar, tingkat angka kelahiran yang semakin menurun di Negeri Ginseng ikut andil dalam fenomena silver town ini.
Menurut Badan Statistik Korea Selatan, angka kelahiran padah tahun 2020 turun sebanyak 30.300 (-10%) dari tahun 2019 (Laporan 25 Agustus 2021), menjadikan tingkat angka kelahiran paling rendah dalam sejarah di Korea Selatan.
Inilah yang juga menyebabkan langkanya anak-anak ataupun jumlah penduduk yang berdiam di silver town.
Sebagai usaha penanggulangan pedesaan Korea yang rawan punah karena populasi yang menua dengan cepat, pemerintah daerah membuat kebijakan-kebijakan kreatif untuk menarik penduduk baru.
Karena pedesaan seperti Pohang, Shinan, ataupun Nokdo memiliki sejarah dan potensi wisata, ide-ide untuk membangkitkan kembali industri perikanan ataupun pertanian di daerah pedesaan yang menua lebih cenderung dipilih ketimbang ide meng-urbanisasikan daerah tersebut.
Sebuah pedesaan di kota Mungyeong, di bagian utara Provinsi Gyeongsan, menjadi salah satu contoh upaya pemerintah setempat menarik calon-calon petani muda untuk pindah dan menetap di sana dengan meringankan beban biaya sewa rumah.
Di daerah Shinan, pemerintah lokal mengupayakan teknologi solar dan memberikan subsidi bagi petani-petani muda untuk memulai usahanya.
Tak hanya itu saja, daerah yang juga memiliki hasil laut yang limpah ruah memberikan keringanan sewa kapal nelayan semenjak tahun 2019.
Usaha-usaha ini terbukti membantu masuknya pendatang-pendatang baru.
Tidak hanya usaha pemerintah lokal saja yang membantu, penduduk desa Gohyeon di daerah Namhae pun ikut campur tangan dalam pencegahan penuaan daerah mereka.
24 rumah direnovasi dan lahan pertanian disewakan gratis, tidak hanya untuk para calon petani dan peternak, tapi juga untuk mereka yang berniat pulang kampung dan menetap.
Usaha-usaha ini berbuah baik dan ditandai dengan mulai beroperasinya kembali sekolah yang tadinya hampir tutup karena tidak ada murid.
Seiring perkembangan teknologi, dan mulai maraknya kembali usaha pertanian, peternakan, dan perikanan di kalangan anak-anak muda, merevitalisasi daerah pedesaan dengan potensi alam yang besar pun kembali menjadi harapan yang dipegang bukan saja oleh pemerintah setempat, tetapi juga untuk penduduk lokal yang ingin menjaga sejarah dan alam daerahnya.
Siapa tahu dengan berkembangnya kembali pedesaan-pedesaan di tepi laut, destinasi wisata di Korea Selatan bukan lagi desa Gongjin yang hanya imajinasi belaka, tetapi bertambah dengan desa-desa unik dengan hasil alam yang melimpah.
[Gambas:Video CNN]