Ubud Writers & Readers Festival (Dok. UWRF/Anggara Mahendra)
Jakarta, CNN Indonesia -- Membeli buku cerita pendek bukan sebuah tren yang populer di Indonesia. Itu disimpulkan salah satu penulis cerita pendek yang cukup muda, Norman Pasaribu. Ia melihat orang justru lebih suka cerita panjang atau novel.
"Cerita pendek populer, tapi kalau dibaca di koran atau majalah, yang mana itu lumayan panjang kan. Tapi kalau disuruh beli buku seperti kumpulan cerpen, justru enggak mau," kata Norman saat berbincang dengan CNN Indonesia di Ubud, Bali, baru-baru ini.
Ada beberapa buku kumpulan cerpen yang populer dan sangat laku memang, seperti "9 dari Nadira" milik Leila S. Chudori atau karya-karya Djenar Maesa Ayu. Namun kebanyakan buku tidak terlalu banyak dibeli.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal menurutnya, cerita pendek atau cerpen merupakan cara yang paling mudah untuk memulai baik membaca maupun menulis. "Itu juga cocok untuk orang yang sibuk," katanya.
Membaca cerpen hanya membutuhkan waktu sekitar 10 sampai 15 menit, dan bisa dilakukan di mana saja. "Dalam perjalanan ke kantor, misalnya," ia mencontohkan. Sementara cerpen di media cetak lebih butuh waktu.
Norman sendiri terkadang tidak bisa menghabiskan satu cerpen di koran dalam sekali duduk. "Saya harus tutup dulu karena kerja, misalnya. Tapi nanti kalau dilanjutkan lagi sudah kehilangan rasa cerita, jadi harus baca ulang," ujarnya mengungkapkan.
Ia bukan anti media cetak. Cerpennya sering diterbitkan di Kompas Minggu maupun Horison. Namun penulis kumcer "Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu" itu lebih memilih cerpen untuk jeda waktu yang pendek.
"Cerita panjang, bagus sih banyak yang baca di koran. Tapi enggak bagus buat penjualan buku kumcernya," tutur Norman melanjutkan.
Menurutnya, ada anggapan cerpen di media cetak lebih "terakreditasi." Cerita itu sudah melalui penyuntingan yang terpercaya. Bahkan penerbit buku kumcer pun lebih memilih cerpen yang sudah diterbitkan di koran dan dibaca. Ia sendiri harus menulis riwayat penerbitan di belakang buku kumpulan cerpennya.
Bahwa cerpen adalah hal yang bagus untuk memulai menulis maupun membaca, diakui pula oleh penulis kondang dari Sri Lanka, Ashok Ferrey. "Novel secara teknis lebih menantang," katanya. Ia mendorong mikro-fiksi, yang lebih pendek lagi, agar populer.
"Saya menyebut yang dinamakan tea bag story. Saat Anda mencelupkan teh dan menunggunya matang, waktunya bisa digunakan untuk menulis atau membaca satu cerita," ia menerangkan.