’ merupakan novel terbaru SGA yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada awal 2017.
Di bukunya ini, Seno mengisahkan Drupadi dari awal kelahirannya hingga ia tiada. Tidak hanya kembali mengangkat soal kecantikannya saja, tapi bagaimana sosok Drupadi semasa hidupnya adalah juga seorang perempuan yang berdaya, dan berjuang melawan suratan yang sudah ada padanya.
Drupadi lahir dengan kecantikannya yang mempesona. Dengan tempo cerita yang lambat, kecantikan Drupadi itu dikupas lapis demi lapis yang membuatnya tampak teryakinkan tiada lagi yang cantik mengalahkan kecantikan Drupadi.
‘Dewi Drupadi tidak pernah dilahirkan. Ia diciptakan dari sekuntum bunga teratai yang sedang merekah.' (hal2). 'Secantik-cantiknya putri itu dalam bayangan mereka, setelah melihatnya sendiri meski dari jarak yang jauh, ternyata Dewi Drupadi memang beritu rupa cantiknya sehingga kecantikannya tiadalah terkatakan lagi. (hal5).'Hal itu dipertegas lagi pada halaman berikutnya
: “Begitu cantiknya Drupadi memang, matanya berbinar-binar dan bersinar, membiat mata siapapun yang memandang tiada bisa lepas lagi darinya (hal 17).
'Tidak hanya cantik, Drupadi juga dikisahkan sebagai perempuan yang cerdas, tangkas, dan pemberani. Saat sayembara memperebutkan dirinya, ia tidak membiarkannya berjalan begitu saja. Drupadi-lah yang kemudian memilih siapa yang berhak atas dirinya. Dan suatu kali dengan lantang, ketika pilihannya jatuh pada pria yang ia cintai (yakni Arjuna), ia berteriak dengan berani.
'Aku mau menikah dengannya! Ia calon suamiku!' (hal 20).
Drupadi kemudian menikah tidak hanya dengan Arjuna saja, tapi juga dengan keempat saudaranya yang lain, yakni Yudhistira, Bima, Nakula dan Sadewa.
Dari sinilah perjalanan kisah Drupadi sebenarnya baru akan dimulai. Penceritaan Seno akan pertaruhan dirinya di meja judi seolah nyata dan membuat siapa pun yang membacanya tertarik ke dalam suasana perjudian yang meresahkan. Kekalahan dan terhinanya para Pandawa hingga diperkosanya Drupadi menjadi adegan yang juga terasa menyesakkan.
Namun, Drupadi bukan perempuan yang tinggal diam dan meratap atas kemalangan yang terjadi padanya. Meski kemudian ia kembali dipertaruhkan untuk ke-dua kalinya, dan kalah. Penderitaan itu juga seolah tiada akhir. Drupadi menjalani pengembaraan dan diasingkan sebagai hukuman. Menjadi istri dari lima Pandawa ternyata tidak membuatnya serta merta bahagia.
Salah satu bagian yang menarik dari kisah ini adalah ketika pada bab ke-tujuh, Seno menghadirkan satu bab khusus berjudul Wacana Drupadi. Di bagian ini, Drupadi tidak lagi tampil sekadar cantik, tapi juga menjadi sosok yang berani mengungkapkan pendapatnya di tengah-tengah kerumunan.
“Semua orang memperhatikan perempuan itu, yang rambutnya terurai tak pernah disanggul. Ia mengenakan sari berwarna biru langit, sederhana seperti seorang sudra, namun matanya cemerlang seperti permata.' (hal 96)‘Aku telah bersumpah tidak akan menyanggul rambutku jika belum dikeramas dengan darah Dursasana. Apakah karena aku seorang perempuan dan seorang istri, maka aku takbisa memberikan sesuatu kepada lima suamiku? Yudhistira berjudi kembali atas nama kehormatan Pandawa. Apa yang salah dengan diriku? Apa yang tidak terhormat dari pemberianku? Itu penghinaan kepada perempuan!’ (hal 96). Usai menunjukkan keberanian untuk dirinya sendiri, Seno lalu mengambil kisah lanjutan dengan menunjukkan Drupadi juga memberdayakan perempuan lain di sekitarnya. Pada Subadra, anak Arjuna, dan Utari istri dari Abimanyu (anak ke-dua Arjuna), ia menyampaikan pesan yang sarat makna akan kekuatan perempuan.
'Di dunia ini kaum lelaki selalu merasa dirinya paling menentukan. Cobalah kita perempuan mengambil tindakan, maka mereka akan kelimpungan.' (hal 99)
Ungkapan yang disampaikannya itu makin mempertegas sosok Drupadi sebagai perempuan yang berdaya. Tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk orang di sekitarnya.
Keperkasaan yang melekat di dirinya ini-lah yang kemudian menimbulkan pendapat bahwa ada unsur feminisme yang diusung Seno lewat bukunya ini. Bahwa Drupadi adalah seorang sosok pejuang perempuan yang menunjukkan bahwa dirinya bukanlah yang selalu mengalah, tapi berjuang dan punya daya melawan. Bahkan, termasuk melawan pada suratan yang sudah digariskan padanya.
Disertai gambar Danarto Kisah menggugah akan Drupadi itu menjadi satu di antara kekuatan buku Seno kali ini. Kekuatan lainnya adalah ketika penceritaan itu disertai sejumlah gambar hasil karya seniman Danarto. Beberapa gambar itu ditempatkan di beberapa bagian cerita, ada yang menyerupai Drupadi, Pandawa, adegan perjudian Kurawa, hingga Drupadi dengan lima suaminya.
Dari semua gambar, yang paling mencolok adalah gambar dua halaman yang menunjukkan sosok Drupadi yang berdiri tegak di hadapan sejumlah Pandawa (hal 95).
Gambar ini tampak kuat bercerita tanpa harus dijejali kata-kata. Di bagian bawah gambar ini dibubuhi dengan nama Danarto, dan tahun pembuatan yakni 2014.
Bicara soal tahun pembuatan, karya Drupadi ini sebenarnya bukanlah karya baru Seno. Bagian satu hingga empat diambil dari tulisannya yang pernah terbit di Majalah mingguan
Zaman, dari edisi 14 Januari hingga 11 Februari 1984. Kisah
Kausika, di bab ke-lima diambil beberapa bulan setelahnya, yakni Desember 1984. Kisah lanjutan itu melompat jauh 16 tahun kemudian, pada bagian ke enam hingga ke-10 yang ditulis Seno pada 2000-an.
Dari riwayat penulisan cerita ini tampak bagaimana upaya Seno menjaga melanjutkan ceritanya tentang Drupadi dalam rentang waktu yang cukup lama jedanya. Dari ketika ia mengisahkan Drupadi belia dan diperebutkan Pandawa dan Kurawa, menjadi istri lima Pandawa, dipertaruhkan di meja judi, diasingkan, dipertaruhkan lagi hingga kemudian menemui ajalnya.
Menikmati kisah Drupadi di tangan Seno seperti membayangkan akan sosok perempuan yang tidak hanya cantik tapi juga cerdas dan pemberani. Bahwa ia tidak hanya menerima suratan yang ada padanya, tapi juga berjuang. Sesuatu yang membuatnya menarik untuk dibaca sampai akhir.