Kuala Lumpur, CNN Indonesia -- Nama-nama seperti Hishamuddin Rais, Maria Chin, dan Nurul Izzah, memang sudah biasa masuk dalam gerakan rakyat yang menuntut perubahan di Malaysia.
Kini, nama mereka kembali tercantum dalam satu Deklarasi Rakyat yang menuntut perubahan di Malaysia dengan menurunkan Perdana Menteri Najib Razak. Bedanya, deklarasi ini digagas oleh orang yang dahulu selalu mereka kritik saat masih menjabat sebagai Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad.
Tokoh yang kerap disebut-sebut diktator itu pun menyambut baik dukungan tersebut. Namun Mahathir juga mengatakan bahwa sepatutnya mereka lebih marah kepadanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebenarnya, sepatutnya mereka lebih marah kepada saya daripada saya memarahi mereka karena dulu mereka ditahan dan mereka memang menderita di masa saya menjadi perdana menteri, tetapi saya tidak diperlakukan apa-apa oleh mereka, melainkan hanya tentangan politik saja," ujar Mahathir kepada
CNN Indonesia.com saat ditemui di Putrajaya, Malaysia, awal April lalu.
Kerabat atau bahkan mereka sendiri memang hanya menentang kebijakan Mahathir dengan turun ke jalan. Namun, mereka harus menanggung akibat aktivitas yang dianggap menentang rezim penguasa.
Penderitaan pra-MahathirMereka sebenarnya sudah menjadi korban kekejaman rezim sejak 1969, jauh sebelum Mahathir memegang kendali. Saat itu, Perdana Menteri Tun Abdul Razak baru saja meninggal dunia dan terjadi perebutan kekuasaan di dalam tubuh partai berkuasa, UMNO, yang akhirnya dimenangkan oleh Tun Hussein Onn.
Kala itu, kemiskinan menimpa warga Malaysia yang akhirnya tinggal di tempat-tempat kumuh di Tasek Utara, Johor Bahru.
Adalah Yunus Ali, seorang pemimpin gerakan mahasiswa dari Universitas Malaya. Ia menggerakkan rekan-rekannya untuk turut serta dalam demonstrasi mendukung perjuangan rakyat di Tasek Utara.
Di bawah pemerintahan Perdana Menteri Tun Abdul Razak, Yunus dan beberapa rekannya, termasuk Hishamuddin, akhirnya dijebloskan ke dalam penjara pada September 1974.
Beberapa bulan setelah itu, tepatnya Desember, kembali terjadi gerakan mahasiswa besar-besaran di Kuala Lumpur untuk mendukung perjuangan masyarakat miskin di Baling, Kedah. Di bawah Undang-Undang Keselamatan Dalam Negeri (ISA), kepolisian menahan beberapa pemimpin mahasiswa yang terlibat, termasuk Anwar Ibrahim.
Dalam buku bertajuk
Pemikiran Islam di Malaysia: Sejarah dan Aliran, Abdul Rahman Haji Abdullah menuturkan bahwa pemerintah akhirnya melancarkan Operasi Mayang untuk menahan para pemimpin mahasiswa. Yunus dan Hisham tentu sudah ada di dalam radar.
Sementara para pemimpin mahasiswa lain terus melakukan gerakan bawah tanah, Hisham dan Yunus memutuskan untuk kabur ke luar negara. Mereka terus mengembara.
Hisham duduk di bangku kuliah Bahasa Perancis di University Catholic of Leuven la Neuve, Belgia, pada 1984 sebelum akhirnya melanjutkan studi seni di Brixton College, London.
Sementara itu, Yunus memilih jalur perjuangan lainnya, yaitu bergabung dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Pada awal medio 1980-an, Yunus hijrah ke Inggris untuk belajar sosiologi. Di sana, ia bertemu dengan Maria Chin yang sedang menuntut ilmu hukum. Mereka memiliki banyak kecocokan, terutama dalam bidang perjuangan hak-hak asasi manusia.
Pendidikan rampung, Yunus pulang kampung. Pada 1986, situasi politik di Malaysia berangsur baik setelah Mahathir Mohamad terpilih menjadi perdana menteri.
Dengan tenang, Yunus kembali mendaftar ke Universitas Malaya untuk melanjutkan studinya mengenai sosiologi.
Ditekan MahathirKetenangan tak bertahan lama di Malaysia. Pada 1986, terjadi kekacauan hebat akibat isu ras di segala kalangan, mulai dari elite politik hingga masyarakat biasa.
Dalam bukunya yang bertajuk
Malaysia: Mahathirism, Hegemony and the New Opposition, John Hilley mengatakan bahwa momen ini pada akhirnya disebut-sebut sebagai periode awal dari pemerintahan otoritarian Mahathir.
Saat itu, beberapa organisasi masyarakat non-pemerintah diserang karena mengkritik kebijakan pemerintah, seperti keputusan Menteri Pendidikan untuk menunjuk 100 asisten dan peninjau ke sekolah China.
Para peninjau yang dikirim memang dari etnis China. Namun masalahnya, menurut beberapa politisi, para pemantau itu tak menanamkan pendidikan China. Mereka memaksa murid menggunakan bahasa Inggris atau Malaysia untuk berkomunikasi dengan personel sekolah.
Mahathir menyebut kelompok organisasi non-pemerintah ini sebagai elite intelektual yang merupakan alat dari kekuatan asing untuk menyabotase demokrasi.
Isu ras juga mengeras di Universitas Malaya. Salah satu kontroversi paling kencang adalah pengubahan bahasa medium untuk Fakultas China dan Tamil menjadi Melayu.
Dengan dalih mengurangi gesekan rasial yang mulai berbahaya, Mahathir akhirnya melancarkan Operasi Lalang pada 27 Oktober 1987. Mahathir pun menyetujui penangkapan 106 aktivis atau pemimpin politik berhaluan Marxisme. Angka terus bertambah hingga 119, salah satu di antaranya adalah Yunus.
Meskipun tak dapat melawan, Yunus akhirnya dibebaskan. Ia meniti kariernya menjadi seorang dosen dan meminang Maria pada 1993. Dengan bantuan beberapa teman, mereka mendirikan sejumlah organisasi masyarakat.
 Putri Anwar Ibrahim, Nurul Izzah, merupakan salah satu oposisi yang paling vokal menyerukan protes terhadap Mahathir. (Reuters/Olivia Harris) |
Satu tahun berselang, Hisham pun pulang. Tak terlalu banyak yang terjadi setelah itu. Hingga akhirnya Malaysia gempar karena Mahathir mengangkat wakilnya dari kelompok oposisi, yaitu Anwar Ibrahim.
Namun kemudian, Anwar dipecat dan ditahan atas tuduhan kasus sodomi. Dari tahun 1998 hingga 2000, Hisham kembali turun ke jalan untuk melontarkan protes terhadap penahanan Anwar yang dianggap sarat unsur politis.
Alhasil, ia harus hidup di balik jeruji besi selama dua tahun tanpa proses pengadilan. Setelah bebas, borgol sudah menjadi sahabat karib Hisham. Beberapa kali ia ditahan akibat menyerukan protes terhadap Mahathir.
Tak hanya Hisham, keluarga Anwar pun kerap kali menyerukan protes. Putrinya, Nurul Izzah, merupakan salah satu anggota keluarga yang paling vokal.
Perbedaan itu masalah belakanganNamun kini, nama Hisham, Maria, dan Nurul bersanding dengan Mahathir dalam secarik Deklarasi Rakyat yang menuntut penggulingan Najib Razak. Bekas luka itu memang akan selalu ada, tapi demi negara, mereka mendukung upaya Mahathir yang dianggap masih memiliki pengaruh di tengah masyarakat Melayu.
"Kami hanya sepaham mengenai satu perkara saja, bukan semua ideologi atau perjuangan mereka saya ikut. Hanya satu perkara, yaitu pembuangan Najib," ucap Mahathir.
Setelah itu, tak ada yang berani menjawab bagaimana langkah selanjutnya. Mahathir yang diisukan akan mendukung pembebasan Anwar pun tak menjamin hal itu bakal terjadi.
"Itu masalah nanti. Kita lihat nanti. Yang penting adalah penyingkiran Najib karena selama Najib masih di situ, perjuangan siapapun tidak akan berhasil," tutur Mahathir.
Tokoh yang sudah hidup sembilan dekade ini pun tak mau ambil pusing jika para "musuh" tersebut kembali mengungkit tuduhan terhadap dirinya ketika Najib sudah turun.
"Itu politik. Dalam politik, tidak ada kawan yang abadi, tak ada musuh yang kekal. Mereka berbeda pada satu saat. Satu waktu mereka dukung, satu waktu mereka menentang. Itu politik," katanya.
(stu)