Jakarta, CNN Indonesia -- Parlemen Turki menyepakati langkah kunci yang memungkinkan presiden tetap menjadi anggota partai dan mengeluarkan dekrit. Langkah ini dianggap oposisi bisa membuat pemerintah menjadi otoriter.
Tiga pasal yang disetujui semalam memungkinkan presiden untuk mempertahankan hubungan dengan partai politiknya dan mempertegas kekuasaan eksekutif sebagai kepala negara, termasuk kewenangan untuk mengeluarkan dekrit.
Peraturan ini didorong oleh partai penguasa, AK, didukung partai nasionalis MHP. Menurut Presiden Tayyip Erdogan, peraturan baru membuat kepala negara mempunyai kekuatan untuk mencegah koalisi pemerintah yang lemah seperti di masa lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Persetujuan parlemen yang diumumkan Jumat (13/1), adalah sinyal positif untuk partai AK, meski perubahan ini mesti diloloskan melalui dua tahap pemungutan suara dan referendum.
Oposisi utama pemerintahan, CHP dan HDP yang pro Kurdi, sangat menentang perubahan ini.
Malam sebelumnya, anggota parlemen dari AKP dan CHP bersitegang dalam perdebatan. Setelah itu, perwakilan partai AK memperingatkan pemilu akan digelar jika perubahan itu tidak diloloskan.
Erdogan sendiri mengatakan pemilu dini mungkin saja terjadi jika parlemen tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik.
Perwakilan CHP mengatakan partainya tidak akan menghindari gerakan semacam itu.
"Hari ini, alih-alih mencari perubahan rezim, kami CHP memberikan dukungan sepenuhnya untuk melaksanakan pemilu dini. Kami bilang, ayo bertarung," kata Ozgur Ozel, sebagaimana dikutip
Reuters.
Di bawah perubahan yang direncanakan ini, presiden bisa dipilih sebanyak dua periode maksimal, dengan masing-masing periode selama lima tahun. Rencana ini mencerminkan pemilihan umum 2019.
Undang-undang berisi 18 pasal ini membutuhkan dukungan setidaknya 330 perwakilan partai dari 550 kursi yang tersedia sebelum bisa mencapai tahap referendum. AKP punya 316 perwakilan yang boleh memilih, sementara MHP punya 39.
Peraturan ini akhirya lolos dengan dukungan 340-343 anggota parlemen.