Jakarta, CNN Indonesia -- Pembunuhan seorang polisi oleh militan Islamis mendorong masalah keamanan nasional ke puncak agenda politik di Pemilihan Umum Presiden Perancis.
Menjelang pemilihan putaran pertama, Minggu (23/4) waktu setempat, kandidat ekstrem kanan Marine Le Pen berjanji akan memperketat imigrasi dan kendali perbatasan untuk mengalahkan "terorisme Islamis" jika terpilih.
Serangan ini memberikan kesempatan bagus bagi Le Pen untuk mengangkat kebencian terhadap imigran dan Muslim, juga kekhawatiran warga akan perlindungan dari terorisme.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baru minggu lalu, dengan perolehan dukungan yang mulai melorot, Le Pen mencoba untuk mengumpulkan dukungan dengan jelas-jelas mengangkat kebencian terhadap Muslim dan Imigran.
Belum jelas apakah pertaruhannya itu membawa dampak yang besar, sementara semua kandidat mencoba untuk memosisikan diri menjadi kandidat yang paling tegas melawan terorisme.
Le Pen juga menghina Presiden Francois Hollande dan berjanji akan menjadi pemimpin yang jauh lebih kuat.
"Selama 10 tahun, di bawah pemerintahan kiri dan kanan, semua yang dilakukan membuat kita menjadi pecundang," ujar Le Pen di markas partainya, Front Nasional.
"Kita harus punya presiden yang mau bertindak dan melindungi."
Pemerintah bereaksi keras: Le Pen "mencoba, seperti yang selalu dia lakukan setelah terjadi sebuah tragedi, untuk mengambil keuntungan dalam rangka memicu perpecahan," kata Perdana Menteri Bernard Cazeneuve.
"Dia dengan tidak tahu malunya mencoba mengeksploitasi ketakutan dan emosi hanya untuk kepentingan politik."
Sementara politikus moderat Emmanuel Macron, yang tipis berada di atas Le Pen dalam survei jelang pemilihan, mengatakan solusi permasalahan keamanan tidak sesederhana yang disampaikan rivalnya, dan "tidak ada yang namanya keadaan bebas risiko sama sekali."
Siapa pun yang tidak sepakat dengan hal itu adalah orang yang tidak bertanggung jawab, kata mantan Menteri Ekonomi dalam pemerintahan yang berulang kali dikritisi Le Pen karena masalah keamanan itu.
Saat ini ada empat kandidat dalam persaingan yang masih sulit ditebak ini. Pemungutan suara Minggu ini juga masih akan dilanjutkan pada putaran kedua yang diikuti oleh dua kandidat teratas, 7 Mei nanti.
Serangan terbaru di Champs-Elysees, jantung Ibu Kota, menambah ketidakpastian dalam pemilu yang akan menentukan pengelolaan ekonomi senilai 2,2 triliun euro. Ekonomi Perancis bersaing dengan Inggris di posisi kelima terbesar di dunia.
Survei pertama yang dilakukan setelah serangan teror tersebut menunjukkan Le Pen merebut sebagian dukungan Macron.
Meski ia masih memimpin dengan 24,5 persen dukungan sementara, perolehan poinnya berkurang setengah persen saat Le Pen mendapatkan ekstra satu persen, meningkat ke angka 23 persen.
Kandidat konservatif sekaligus mantan perdana menteri Francois Fillon dan politikus ekstrem kiri Jean-Luc Melenchon sama-sama kehilangan poin setengah persen dalam survei
Odoxa untuk surat kabar
Le Point yang dikutip
Reuters.
Sementara itu, sejumlah analis memprediksi bukan hanya Le Pen yang mendapatkan keuntungan. Keuntungan elektoral justru disebut mengarah pada Fillon, yang menulis buku berjudul "Mengalahkan Totalitarianisme Islamis" dan menyebut perang antiteror sebagai perang keberadaban.
Fillon, yang sempat berada di posisi teratas, kehilangan dukungan setelah terjerat skandal nepotisme yang berujung pada tudingan pencucian uang. Namun, belakangan dia kembali merebut hati para pemilih dan serangan ini bisa jadi mendorongnya kembali ke puncak.
"Anda bisa membayangkan gerakan terhadap kandidat yang pernah memegang kuasa," kata Dominique Reynie, ahli politik sayap kanan yang dikutip
The Washington Post. "Ia pernah menulis soal terorisme. Ia pernah jadi perdana menteri."
"Untuk Le Pen, ini tidak akan berdampak apa-apa," kata Reynie. "Dia sudah pada tahap yang dia capai, sebagian berkat terorisme."
Semua kandidat mencoba untuk merebut hati warga yang belum menentukan pilihan. Menurut survei Ipsos, Jumat (21/4), ada sekitar 31 persen pemilih yang masih bisa direbut oleh para calon.
Setelah serangan Champs-Elysee, Le Pen berupaya untuk menempatkan perjuangan melawan terorisme sebagai perjuangan seluruh warga Perancis. "Perancis diincar bukan karena apa yang kita lakukan, tapi karena kita Perancis," ujarnya.
Di sisi lain, Fillon mendadak menyinggung serangan yang diklaim oleh kelompok teror ISIS itu, mengatakan peperangan melawan "totalitarianisme Islamis" mesti jadi prioritas presiden selanjutnya. "Pilih kita atau mereka," ujarnya. Sementara itu di seberang Samudera Atlantik, Presiden Amerika Serikat Donald Trump, mengatakan serangan itu "mungkin akan membantu" Le Pen karena dia adalah kandidat yang "paling kuat dalam masalah perbatasan dan soal masalah-masalah yang ada di Perancis.
Trump mengatakan dirinya tidak secara langsung mendukung Le Pen tapi dia meyakini serangan itu akan memengaruhi pandangan warga Perancis dalam pemilihan umum ini.
Hasil pemilu ini bisa memengaruhi posisi Perancis di dunia dan di Uni Eropa yang masih diselimuti kepergian Inggris atau Brexit. Sementara Macron jelas mendukung Uni eropa, Le Pen justru ingin keluar dari sistem mata uang tunggalnya dan berpotensi menggelar referendum untuk keluar dari blok biru.
Dalam survei Elabe yang dilaksanakan pada Rabu dan Kamis--waktu kejadian serangan Paris--dan dipublikasikan pada Jumat, baik Fillon dan Melenchon terlihat semakin mendekati perolehan dukungan Macron dan Le Pen.
Jika sama-sama tembus ke putaran kedua bersama Le Pen, Macron kemungkinan besar memenangi pemilu dengan peroleh 65 banding 35 persen, menurut survei untuk BFM TV dan majalan L'Express.
Fillon, yang perlahan meraup kembali dukungan setelah dilanda skandal, mendapatkan ekstra setengah persen ke angka 20 persen.
Sementara Melenchon, yang berniat akan meningkatkan pajak untuk orang kaya dan menghabiskan 100 juta euro uang pinjaman untuk membangun perumahan dan proyek energi terbarukan, mendapatkan 1,5 persen dan merangkak naik ke angka 19,5 persen setelah debat di televisi.
Jika Melenchon maju ke putaran dua, dia diproyeksikan bakal mengalahkan Le Pen atau Fillon dengan selisih besar, meski mungkin kalah oleh Macron dengan perbandingan 41-59 persen.