Jakarta, CNN Indonesia --
Seorang pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) yang dikenal sebagai pahlawan 'Hotel Rwanda,' Paul Rusesabagina diadili karena dugaan kasus terorisme.
Polisi mengatakan pria 67 tahun itu adalah dalang teroris, yang dituduh mendanai kelompok pemberontak yang melancarkan serangan di Rwanda.
Namun, keluarga menolak tuduhan itu. Mereka bersikeras bahwa Rusesabagina adalah tahan politik seperti dalam film Don Cheadle. Seseorang yang tak pernah melakukan penyimpangan sosial dan laki-laki yang berani.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ayah selalu memperjuangkan keadilan, perdamaian dan hak asasi manusia. Sekarang, hak-haknya dilanggar," kata keponakan sekaligus anak angkat Rusesabagina, Carine Kanimba, dikutip AFP pada Senin (20/9).
Rusesabagina dilaporkan terlibat erat dengan kelompok oposisi politik di pengasingan.
Dalam sebuah video tahun 2018, dia menjanjikan dukungan untuk Front Pembebasan Nasional, sebuah kelompok bersenjata yang dianggap sebagai teroris organisasi oleh Rwanda.
"Waktunya telah tiba bagi kita untuk menggunakan segala cara yang mungkin untuk membawa perubahan di Rwanda, karena semua cara politik telah dicoba dan gagal," katanya.
Dua tahun kemudian, Rusesabagina naik pesawat yang dia yakini menuju Burundi tetapi malah mendarat di Rwanda.
Dia ditangkap dan diadili sebagai musuh negara.
Rusesabagina sekarang menjadi fokus kampanye global yang dipimpin oleh putrinya Anaise dan Carine. Mereka mendorong pembebasan sang ayah.
Wartawan asal AS, Philip Gourevitch, menggambarkan Rusesabagina sebagai seorang biasa saja.
"Begitulah tampaknya dia menganggap dirinya juga, sebagai orang biasa yang tidak melakukan sesuatu yang luar biasa, menolak menyerah pada kegilaan yang ada di sekitarnya," tulus Gourevitch dalam bukunya 'Kami ingin Memberitahu Anda bahwa Besok Kami Akan Dibunuh bersama Keluarga Kami, yang rilis tahun 1998.
Rusesabagina merupakan anak petani asal Rwanda tengah. Ia sempat belajar teologi setelah pulang sekolah atau sebelum bekerja di hotel dan belajar perhotelan di Kenya dan Switzerland.
Pada tahun 1984, ia dipekerjakan sebagai asisten manajer umum di hotel paling bergengsi di Kigali, Hotel Des Mille Collines. Sebuah hotel bintang lima milik Belgia.
Pada April 1994, saat genosida dimulai, Rusesabagina dikepung dalam hotel itu bersama keluarga dan ratusan tamu.
Dalam insiden genosida itu, Rusesabagina menjadi juru selamat bagi ratusan nyawa orang yang nyaris melayang.
Sebagian besar suku Tutsi, seperti istrinya, mencari perlindungan dari massa yang membawa parang di luar gerbang hotel.
Sementara Rusesabagina berasal dari suku Hutu moderat, yang kritis terhadap rezim ekstrimis.
Ia akhirnya menenangkan pertempuran itu lewat aksi dinginnya mengecoh kelompok bersenjata, di saat para tamu minum air kolam dengan putus asa.
Larut malam, ia mengirim permohonan pertolongan segera (SOS) kepada pemerintah Eropa. Kemudian Presiden Amerika Serikat ketika itu, Bill Clinton, menggunakan saluran faks hotel.
Meski Hutu berhasil digulingkan Tutsi ,dan mengakhiri pembantaian 100 hari, yang menewaskan 80 ribu warga Rwanda, ia tetap bekerja sebagaimana biasanya
Rusesabagina menuduh Front Patriotik Rwanda (FPR), khususnya pemimpin kelompok itu, Paul Kagame, otoriter dan mempromosikan sentimen anti-Hutu.
Di tahun 1996, Rusesabagina meninggalkan Rwanda. Ia pindah ke Belgia dengan istri dan anak-anaknya lalu menghilang tanpa kabar apapun.
Namun film "Hotel Rwanda" yang rilis tahun 2004, membuat Rusesabagina menjadi selebritis dalam semalam.
Rusesabagina menerima penghargaan Presidential Medal of Freedom dari Presiden AS George W. Bush pada tahun 2005. Ia lalu berkeliling dunia untuk memperingatkan kejahatan manusia.
Seiring waktu, ia semakin menggunakan platform barunya untuk menyerang Kagame dan RPF dalam kritik tajamnya.
Para pendukung Kagame, kemudian membalas tanpa henti. Mereka meneriakinya di acara-acara pidato di seluruh dunia.
Orang-orang yang selamat dari Mille Collines berbalik melawannya. Mereka menuduh Rusesabagina mengambil untung dari kesengsaraan yang dialami dan menghiasi kepahlawanannya.
Ketika pencarian semakin intensif, retorika Rusesabagina menjadi lebih gelap.
"Dia selalu menjadi orang yang berbicara lembut, cukup moderat. Apa yang terjadi dari waktu ke waktu, tentu saja, adalah ketika dia diserang, dia didorong ke posisi yang lebih ekstrem," kata Profesor ilmu politik dan hubungan internasional di Boston Universitas, Timothy Longman.