Jakarta, CNN Indonesia -- Bekas Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial (KY) Muzayyin Mahbub disebut sebagai dalang korupsi rekapitulasi uang pelayanan dan layananan pegawai di KY sejak tahun 2009 hingga 2013. Duit panas digunakan Muzayyin untuk kampanye jelang Pemilu 2014.
Meski demikian, nama Muzayyin tidak terseret ke meja hijau. Fakta persidangan justru mengungkapkan bekas anak buahnya yang terseret pidana.
"Dari awal saya tekankan, Sekjen KY karena saya mendapat arahan dari beliau untuk mengondisikan keuangan di kantor," kata bekas staf Sub Bagian Perbendaharaan Bagian Keuangan Biro Umum Sekretariat KY Al Jona Al Kautsar usai sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (24/11).
Al Jona divonis lima tahun bui oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor lantaran terbukti memanipulasi rekapitulasi anggaran. Jona mengaku tak puas dengan vonis tersebut. "Semua dibebankan ke saya (sebagai) tersangka tunggal," ujar Al Jona.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Al Jona, uang panas hasil korupsi senilai Rp 4,5 miliar tidak dinikmati sendiri. Dia menyebut ada aliran dana ke rekening bekas bosnya senilai Rp 50 juta untuk kampanye.
"Waktu diminta bantuan (Muzayyin), saya waktu itu keluarkan. Sesuai apa yang disampaikan untuk dukungan kampanye di daerah pilihan beliau," kata Al Jona.
Duit tersebut digunakan untuk membuat poster dan spanduk ketika Muzayyin mencalonkan diri pada Pemilu 2014 dari daerah pilihan Sumatera Utara. Muzayyin mundur dari lembaga pengawas hakim tersebut pada April 2013. Sedianya, jabatan Muzayyin di KY baru akan berakhir pada Juli 2013. Muzayyin lantas resmi bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). (Baca juga:
Bekas Pegawai KY DIhukum Lima Tahun Bui)
"Sebetulnya di luar dari kampanye, banyak lah, waktu beliau masih aktif, saya back up semua. Karena waktu itu saya yang bertanggung jawab semua," ujarnya.
Sementara itu, beberapa pihak dinilai lalai dalam melaksanakan tugas. Mereka adalah Kepala Sub Bagian Verifikasi Akuntansi KY Yasdi Satya Graha dan Bendahara Pengeluaran Soni Solihin serta Cristy Michiko.
Selain itu, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam kasus tersebut yakni Eddi Hari Susanto dan Roejito juga dinilai lalai. Sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Patmoko dan Andi Jalal Latif juga tak bertanggung jawab dalam menjalankan wewenang.
"Umumnya (semua) seperti lepas tangan, pada lari semua. Saya harapkan keadilan untuk diri saya. Tapi masih dilihat pakai kacamata kuda," ujarnya.
Menurut Al Jona, deretan pejabat tersebut mengetahui seluk beluk proses pencairan dana. "Saya hanya melakukan. Sedangkan mereka yang berhak mengizinkan pencairan, seharusnya juga diberikan sanksi," kata Al Jona.
Al Jona menyebut setiap individu berperan sesuai tugas di antaranya sebagai PPK, KPA, pejabat verifikasi, dan bendahara. "Mereka harus melakukan proses, tapi ujung-ujungnya saya yang dikorbankan. Semua harusnya tahu (ketika proses pencairan)," ujarnya.
Kuasa hukum Al Jona, Zulham Mulyadi, meminta KY transparan dalam mengungkap kasus tersebut. KY juga diminta untuk tidak menghambat perkembangan penyidikan.
"Di Berita Acara Pemeriksaan sudah disampaikan semua, siapa saja yang bertanggung jawab dalam proses pencairan dana taktis. Ada yang bertanggung jawab terhadap pengeluaran formil dan materil keuangan negara. Sementara beliau cuma staf,"ucap Zulham.
Menurut Zulham, proses verifikasi melibatkan sejumlah pejabat KY. "Tidak mungkin, penandatanganan tiap bulan tidak dikontrol dengan benar. Tidak mungkin perkara korupsi tunggal, apalagi di proses birokrasi dan untuk mencairkan uang," katanya.
Hingga kini, Kejaksaan Agung masih mengkaji vonis pengadilan. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Tony T. Spontana mengatakan, pengembangan kasus akan dilakukan terhadap sejumlah nama yang disebut dalam penyidikan dan persidangan.