Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menilai penolakan grasi oleh Jokowi terhadap 64 terpidana mati pengedar narkoba merupakan kebijakan yang punya landasan hukum jelas. Pernyataan tersebut sekaligus membantah kecaman dan desakan organisasi hak asasi manusia yang tidak setuju dengan hukuman mati.
"Hukum positif Indonesia mengakui hukuman mati ada dalam Pasal 28 J UUD 45. Jadi hukuman mati itu konstitusional," ujar Yasonna dalam jumpa pers di Gedung Kementerian Hukum dan HAM usai menghadiri acara Peringatan Hari HAM Sedunia, Rabu (10/12). Menkumham meminta negara lain menghargai hukum yang berlaku di Indonesia.
Merujuk Pasal 113, 114, 116, 118, dan 119 Undang-Undang Narkotika, seseorang dapat dihukum mati apabila memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan I yang hanya diproduksi untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk itu Yasonna sepakat untuk memberikan hukuman keras dan setimpal bagi bandar narkoba. "Tidak mungkin memberikan grasi kepada bandar narkoba," ujar Yasonna.
Bandar narkoba yang mengatur peredaran dan bisnis narkoba dari dalam lembaga pemasyarakatan justru telah merusak bangsa.
"Indonesia sudah darurat nasional. Ada 4 juta pecandu narkoba. Saat ini Lapas dihuni lebih dari 50 persen pecandu narkoba. Sebanyak 40 orang meninggal tiap hari karena narkoba. Kalau tidak dijaga, nanti satu generasi rusak," kata Yasonna.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan akan menolak grasi 64 terpidana mati narkoba. Keputusan tersebut menuai pro dan kontra. Perwakilan Indonesia untuk ASEAN Intergovernmental Comission on Human Rights Rafendi Djamin tidak sepakat hukuman mati diberikan dengan dalih ketegasan hukum.