-- "Kecelakaan pesawat terbang meski tak banyak jumlahnya dibanding kecelakaan lainnya, tetapi katastrofik. Sekali terjadi, ratusan jiwa melayang," Hanna Simatupang, mantan penyidik Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
Banyak pertanyaan muncul setiap kali mendengar peristiwa kecelakaan pesawat terbang. Bagaimana penyebab terjadinya kecelakaan tersebut? Benarkah faktor cuaca atau faktor manusia yang lebih berperan dalam setiap insiden yang bisa merengut banyak nyawa manusia tersebut? Berikut wawancara khusus kami dengan beberapa pakar penerbangan dan analisa mengenai jatuhnya pesawat QZ8501 pada Minggu (28/12) di perairan Teluk Kumai, Kalimantan Tengah.
Kecelakaan di lalu lintas udara jumlahnya tidak banyak seperti kecelakaan yang terjadi di darat. Namun, sekali terjadi bencana ratusan jiwa bisa melayang. Oleh sebab itu, kecelakaan pesawat terbang mendapatkan perhatian dan sorotan besar bagi pihak dunia internasional.
Mantan penyidik di Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Hanna Simatupang mengatakan faktor utama penyebab kecelakaan pesawat terbang bisa bermacam-macam, mulai dari kemampuan seorang manusia yang sangat terbatas hingga peranan penting jadwal penerbangan.
“Penerbangan jarang terjadi kecelakaan. Tetapi katastrofik. Sekalinya kecelakaan ratusan orang meninggal dunia,” kata dia saat dihubungi CNN Indonesia, Jumat (2/1)
Dari faktor manusia, Hanna mengatakan kalau manusia sudah kelelahan bisa berimbas ke pihak lainnya, yang berujung pada resiko kecelakaan pesawat terbang. Selain itu, operator penerbangan juga sangat memegang peranan penting pada keselematan penerbangan.
“Seluruh operator sudah punya jadwal yang diterapkan untuk pengendalian alat transportasi di penerbangan. Ini faktor standar penerbangan kalau tidak diikutkan, bisa kecelakaan akibat faktor sepele,” kata Hanna.
Seorang pilot pesawat pribadi pengusaha ternama berinisial T.W, Fauzie Ervhan (43) mengatakan kecelakaan pesawat terbang terkait cuaca bisa disebabkan oleh adanya pembekuan pada mesin radar cuaca pesawat akibat cuaca buruk.
" Dalam kasus cuaca buruk seperti awan Kumulonimbus (CB), banyak kasus awan yang berbentuk es batu tersebut masuk ke mesin pembaca cuaca dan mematikan semua mesin," kata dia menjelaskan kepada CNN Indonesia.
Ervan mencontohkan kasus yang terjadi pada kasus AirFrance 2012 lalu di mana hasil investigasi menunjukkan awan CB membuat mesin radar cuaca membeku dan menyebabkan kematian pada mesin secara tiba-tiba.
Ervan sendiri pernah memiliki pengalaman buruk terkait sistem navigasi pesawat yang mati. Saat itu, dia terbang mengendarai pesawat Adam Air, tepatnya pada awal 2007, sebelum perusahaan maskapai tersebut tutup dan bangkrut. Kapten (almarhum) Irianto yang menjadi pilot utama di penerbangan tersebut.
Pesawat waktu itu terbang menuju Jakarta dan diareal langit Palangkaraya, dengan ketinggian diatas 32.000 kaki, tiba-tiba sistem navigasi pesawat mati. "Saat itulah keputusan seorang pilot benar-benar diuji. Kapten (alm) Irianto menepuk pundak saya dan dengan tenangnya berkata,'Masalah pasti bisa terselesaikan,'" kata dia menceritakan kisahnya kembali.
Nahas, Kapten Irianto tidak berhasil dalam penerbangannya justru bersama maskapai AirAsia. Dalam penerbangan Surabaya - Singapura, pesawat QZ8501 yang dikomandoinya, jatuh di perairan Teluk Kumai, Kalimantan Tengah. Sebanyak 155 penumpangpun tewas, termasuk sang pilot.
Pengamat penerbangan Dudi Sudibyo mengatakan keselamatan pesawat terbang di Indonesia saat ini sudah lebih baik dari 2007 ke bawah.
Saat itu, dunia internasional sempat melarang penerbangan dari 51 maskapai yang ada di Indonesia pada 6 Juli 2007. Alasannya, pesawat Indonesia dinilai tidak memenuhi standar keamanan.
Selain itu, otoritas penerbangan di Indonesia juga dinilai gagal memberikan jaminan keamanan terhadap keselamatan penumpang dan penerbangan.
Larangan tersebut saat itu dikeluarkan, akibat banyaknya jumlah kecelakan pesawat terbang yang terjadi di Indonesia. Pada 1 Januari 2007, pesawat Adam Air 574 dengan tujuan Surabaya - Sam Ratulangi, Manado, hilang kontak dengan ATC Bandara Hasanuddin Makassar pada pukul 14.53 WITA.
Kotak hitam pesawat berhasil ditemukan di perairan Majene, Sulawesi Tenggara. KNKT melaporkan penyebab kecelakaan adalah cuaca buruk, kerusakan pada alat bantu navigasi Inertial Reference System (IRS) dan kegagalan kinerja pilot dalam menghadapi situasi darurat.
Namun, larangan penerbangan internasional tersebut memecut dunia penerbangan di Indonesia untuk berbenah diri. Dudi mengatakan sistem keamanan penerbangan di Indonesia sejak itu hingga 2014 sudah banyak mengalami perubahan.
Dudi menilai banyak perbaikan dilakukan baik bagi pihak otoritas juga operator penerbangan. Meski, saat ini, Indonesia masih masuk kategori dua karena tak semua maskapai bisa memenuhi semua persyaratan keselamatan dari pemerintah.
“Dulu keamanan masih sedikit diabaikan, sekarang sudah tidak. Banyak perbaikan dengan sanksi. Ban memajukan semuanya,” kata dia menegaskan.
Imbasnya, kata Dudi, jumlah kecelakaan pesawat terbang di Indonesia menurun dengan cakupan prosentase sebesar 1 hingga 4persen dari total kecelakaan lalu lintas darat, udara dan laut.
Meski sudah berbenah dalam hal keselamatan penerbangan, kualitas menara pengawas lalu lintas udara di Indonesia dinilai masih kurang memadai.
Manotar Napitupulu selaku penasehat pada Federasi Pilot Indonesia mengatakan hubungan antara menara pengawas lalu lintas udara di Indonesia dengan pilot-pilot pesawat berlaku searah dan pasif.
“Kalau di Singapura, Jepang atau Korea Selatan, pihak menara pengawas akan aktif mengingatkan pilot mengenai kondisi penerbangan dan memberikan altenartif rute pada pilot,” kata pilot senior Garuda Indonesia tersebut kepada CNN Indonesia.
Hal itu, katanya, disebabkan oleh kemampuan menara pengawas lalu lintas udara luar negeri untuk membaca kondisi awan dan udara secara lebih akurat dari yang dimiliki Indonesia.
“Di Indonesia, radar pesawat lebih akurat dari radar menara pengawas,” kata dia menegaskan.
Sementara itu, Hanna Simatupang, mantan penyidik pada Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengatakan perkembangan teknologi di dunia penerbangan internasional masih belum diikuti oleh Indonesia. Alhasil, terdapat perbedaan sistem dengan perkembangan teknologi terkini.
“ATC Indonesia menggunakan sistem berbeda dengan perkembangan teknologi terkini. Semestinya ATC berubah. Ini, yang kesannya lambat,” ujar dia.
Perubahan itu, antara lain, seperti pembacaan cuaca oleh menara pengawas. Hanna mengatakan berdasarkan standar operasional prosedur (SOP) ATC, tidak diwajibkan membaca cuaca.
“Memang setiap pesawat memiliki radar cuacanya masing-masing, tetapi alangkah baiknya kalau di menara memberikan pendapat juga apa yang terjadi,” ujar dia.
Selain persoalan kualitas teknis, persoalan sumber daya manusia juga dinilai masih menjadi tantangan di Indonesia. Dudi mengatakan teknisi dan tenaga SDM di menara pengawas masih belum kurang.
“Belum memadai prosentasi antara tenaga kerja di menara pengawas dengan pertumbuhan industri pesawat terbang di Indonesia yang meningkat pesat,” kata dia.
Hal tersebut yang mesti dikejar oleh dunia penerbangan di Indonesia, mengingat penerbangan di Indonesia yang padat sekali, per hari mencapai 1000 penerbangan.
Meski kotak hitam belum ditemukan dan pihak KNKT masih melakukan investigasi penyebab jatuhnya QZ8501, beberapa pakar sudah mengeluarkan prediksi mereka terkait kecelakaan fatal tersebut.
Direktur Safety dan Standard Airnav Indonesia Wisnu Darjono mengatakan cuaca buruk bisa menjadi salah satu penyebab kecelakaan pesawat.
Hal itu dia sampaikan saat menemukan fakta bahwa pilot pesawat QZ8501 sempat melakukan permintaan kepada menara pengontrol udara di Bandara Soekarno-Hatta untuk melakukan deviasi ke arah kiri sejauh tujuh mil.
Setelah meminta hal tersebut, pilot lalu meminta lagi kepada ATC Soetta untuk naik ke ketinggian 38 ribu kaki. Pihak ATC kemudian meminta pilot untuk menunggu selama dua menit karena mau melakukan pengecekan akibat padatnya lalu lintas udara saat itu.
Sebagaimana diketahui, pada saat bersamaan, dalam areal wilayah rute M635 yang dilalui QZ8501 terdapat pula 7 pesawat dari 4 maskapai penerbangan lainnya, yang terbang dalam ketinggian berbeda dari QZ8501.
Jarak 38 ribu kaki yang diminta oleh QZ8501 sudah diisi oleh pesawat lain, yakni AirAsia AWQ 602 tujuan Jakarta – Manado. Sementara itu, di ketinggian 34 ribu kaki, terdapat pesawat AirAsia AWQ 550 tujuan Denpasar-Kuala Lumpur.
“Setelah melakukan pengecekan traffic, kami lalu menghubungi ATC Singapura karena QZ8501 akan memasuki wilayah sana. Waktu yang dibutuhkan sekitar dua hingga tiga menit,” kata Wisnu menjelaskan.
Pertanyaan lantas muncul, mengapa permintaan untuk naik hanya disampaikan oleh pesawat QZ8501. Padahal, menurut keterangan BMKG, rute M635 yang dilewati oleh kedelapan pesawat,memiliki potensi pertumbuhan awan kumulonimbus. Kepala seksi data dan informasi BMKG Surabaya, Bambang Setiajid, mengatakan kalau bentuk awan dalam setiap ketinggian berbeda variasinya.
"Awan CB yang ada di ketinggian 32 ribu kaki bisa jadi sangat berbeda dengan awan potensi CB yang ada di ketinggian 29 ribu atau 34 ribu kaki," kata Bambang.
Pakar penerbangan Dudi Sudibyo mengatakan kemungkinan pesawat sempat terbang ke ketinggian 34 ribu kaki sebelum pihak ATC memberikan izin. Permintaan untuk naik ke atas katanya sangat wajar pasalnya semakin tinggi sebuah pesawat semakin irit bahan bakarnya.
“Setelah bergeser ke kiri dan mau naik ke 34 ribu ketinggian lantas terjadi sesuatu,” kata Dudi.
Dudi memprediksikan pesawat kehilangan daya dan pilot berusaha melakukan proses recovery pada penerbangan namun tidak berhasil dan terjerembab ke bawah.
“Analisa saya, setelah kejadian tersebut, pilot masih berusaha untuk melakukan pendaratan darurat di air,” kata dia.
Hal tersebut diutarakannya melihat adanya penemuan berupa pintu darurat, pelampung penyelamat dan tabung untuk mengisi pelampung penyelamat. Tak hanya itu, Dudi juga menilai tidak bekerjanya sistem ELT pada QZ8501 juga diperkirakan akibat tidak adanya benturan keras antara pesawat dengan lautan.
“Kalau menghujam langsung dengan hidung menukik, pasti ELT langsung menyala sinyalnya. Hari pertama gak dilihat seperti itu,” kata dia menjelaskan.
Sementara itu, Fauzie Ervhan, seorang pilot senior di pesawat jet pribadi pengusaha ternama berinisial T.W, mengatakan prediksinya, QZ8501 terjatuh seperti kejadian AirFrance pada dua tahun silam.
“Hasil investigasi menunjukkan adanya kerusakan pada alat pembaca radar pesawat akibat cuaca buruk,” kata dia menjelaskan.
Dalam cuaca buruk, awan kumulonimbus (CB) yang berbentuk es batu dan sangat dingin, bisa masuk ke dalam mesin pembaca cuaca pesawat dan menyebabkan tersumbatnya mesin. Tak hanya itu, es batu tersebut jika masuk ke dalam pipa mesin bisa membuat matinya mesin,
“Saat radar cuaca mati, sangat kecil kemungkinan pesawat meminta untuk kembali ke base. Pasti terus jalan, pesawatnya,” ujar dia.
Tim Disaster Verification Identification (DVI) Rumah Sakit Bahyangkara Polda Jawa Timur di Surabaya akan membantu mengidentifikasi jenazah yang diterbangkan dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
Untuk membantu proses identifikasi, keluarga para korban diminta untuk membawa foto para korban dan menyediakan contoh DNA. Data yang terkumpul dari keluarga korban kemudian disebut dengan data ante-mortem. Selanjutnya, data dicocokkan dengan data post-mortem yakni data yang melekat di tubuh jenazah.
Kendati demikian, identifikasi korban merupakan sebuah tugas berat. Bisa jadi, tubuh mereka tidak lagi utuh dan hancur. Koordinator Tim SAR Pangkalan Bun Marsekal Muda Sunarbowo Sandi memastikan, delapan korban yang berhasil ditemukan dan diterbangkan ke Surabaya dalam keadaan utuh. Sementara satu korban lainnya yang kini berada di pangkalan Bun, belum dapat dipastikan.
Satu jenazah sudah berhasil diidentifikasi. Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda Jatim Kombes Pol Budiono menuturkan korban yang berhasil didentifikasi bernama Hayati Lutfiah Hamid.
Sore tadi, pihak kepolisian menyerahkan jenazah kepada pihak Air Asia. Kemudian, AirAsia menyerahkan jenazah dan sertifikat kematian ke keluarga korban di Sidoarjo, Jawa Timur. Malam tadi, pemakaman berlangsung dengan khidmat.