Kemenkumham Siap Terima Gugatan Soal Surat Remisi Koruptor

Aghnia Adzkia | CNN Indonesia
Jumat, 06 Feb 2015 07:31 WIB
Surat yang digugat itu dibuat untuk membedakan pemberian remisi terhadap narapidana yang divonis sebelum November 2012 dan setelahnya.
Sejumlah aktivis Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, melakukan aksi damai di depan Gedung Kementrian Hukum dan Ham, Jakarta, Senin (22/9). Aksi tersebut menolak pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian hukum dan HAM menyatakan siap menerima gugatan atas Surat Edaran Menkumham soal penerapan hak remisi dan pembebasan bersyarat. Kendati demikian, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Handoyo Sudrajat menilai remisi dan pembebasan bersyarat merupakan hak tiap narapidana.

"Silakan saja menggugat, itu haknya setiap orang yang berkepentingan," ujar Handoyo kepada CNN Indonesia, Kamis (5/2). Surat edaran tersebut menegaskan, penerapan hak warga binaan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Kemenkumham
"Surat untuk membedakan yang divonis setelah dan sebelum PP keluar," katanya. Apabila terpidana telah divonis sebelum November 2012, maka pemberian remisi masih mengacu pada PP Nomor 28 Tahun 2006. Namun, apabila vonis sesudah November 2012 maka penerapan persyaratan pemberian remisi mengacu pada PP Nomor 99 Tahun 2012 tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Merujuk Pasal 34 Ayat 1 PP Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Masyarakat, setiap narapidana berhak mendapatkan remisi apabila memenuhi syarat berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan.

Apabila mengacu surat tersebut, maka remisi natal 2014 diberikan dengan mudah kepada narapidana korupsi kelas kakap seperti Urip Tri Gunawan, Anggodo Widjojo, Haposan Hutagalung dan Samadi Singarimbun. Keempatnya divonis sebelum November 2012.

Sementara itu, persyaratan yang lebih rumit tercantum dalam Pasal 34 A Ayat 1 PP Nomor 99 Tahun 2012, remisi diberikan bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika, dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional teroganisisir.

Syaratnya, narapidana bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya; telah membayar lunas denda dan uang pengganti; sesuai dengan putusan pengadilan untuk narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh Lapas dan atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Persyaratan lainnya, mereka juga diminta untuk menyatakan ikrar kesetiaan.

Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menggugat surat bernomor M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013 ke Mahkamah Agung, Kamis (5/2).

Menurut Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW Emerson Yuntho, surat edaran tersebut tidak senafas dengan PP Nomor 99 Tahun 2012 yang mengetatkan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat kepada narapidana korupsi. Menurutnya, koruptor perlu dihukum tegas dengan tidak diberi obral remisi.

"Hak remisi dan pembebasan bersyarat kan diatur oleh UU Pemasyarakatan kepada warga binaan. Kalau misalnya undang-undangnya mau diganti ya silakan. Kami kan hanya pelaksananya, yang membuat kan DPR," ujar Handoyo menanggapi. (meg)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER