Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menganalogikan proyek pengadaan
uninterruptible power supply (UPS) dengan aksi begal motor. Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW Febri Hendri menilai analogi tersebut tepat lantaran melihat ada beberapa kesamaan antara proyek pengadaan UPS dilaksanakan dengan aksi begal motor.
"Awal-awal mereka melakukan begal karena diberi ekstasi atau narkotik sehingga kecanduan. Lalu mereka berutang dan akhirnya melakukan pembegalan," ujar Febri saat diskusi di Jakarta, Senin (23/3).
Febri menyebut kecanduan tersebut tidak jauh berbeda dengan para pelaku di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI atau di Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI yang memalsukan proyek pengadaan UPS pada APBD 2014, kemudian melakukannya lagi saat merancang RAPBD 2015.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, aksi begal motor juga dinilai sadis karena bagi siapa saja yang melawan akan dibunuh oleh pembegal. "Sama halnya ketika ada yang susupkan pengadaan UPS ke dalam anggaran APBD dan ketahuan lalu dicoret proyek tersebut, mereka marah juga," ujar Febri.
Setelah melakukan begal, motor hasil curian tersebut dibawa ke penadah. Febri mengaku dalam proyek pengadaan UPS di APBD juga terdapat penadah, yaitu distributor UPS yang memasok barang.
Berdasar temuan ICW dalam anggaran APBD 2014, harga pengadaan 49 paket UPS mencapai Rp 5,8 miliar per paket untuk sekolah menengah atas di wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Pusat.
Padahal pada awal proses pengadaan suatu program, ada penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dari panitia lelang sesuai Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012.
Setelah menetapkan HPS, panitia lelang pun menggelar lelang kepada perusahaan. Namun terdapat kejanggalan yaitu harga yang ditawarkan oleh perusahaan tersebut tidak jauh berbeda.
"Dugaan kami ada komunikasi dengan peserta lelang. Buktinya harga yang ditawarkan mirip-mirip," ujar Febri.
Menurut Febri, terdapat tiga distributor yang memasok UPS buatan Tiongkok dan Taiwan yang memenangkan proyek lelang 49 paket UPS. Ketiga distributor tersebut adalah Istana Multimedia Center, PT Duta Cipta Atha dan PT Offistarindo Adhiprima.
Harga yang ditawarkan ketiga distributor tersebut tidak jauh berbeda yaitu berkisar pada Rp 5,8 miliar. "Selisihnya hanya Rp 30 ribu. Padahal menurut kami yang wajar itu kalau selisihnya Rp 10 juta-Rp 30 juta," ujar Febri.
Berdasar temuan tersebut, ICW melakukan penelitian lebih lanjut dengan mencari harga pembanding. Febri mengatakan pengadaan UPS berdaya 200 kva di salah satu BUMN harganya hanya berkisar Rp 900 juta.
Begitu pula dengan pengadaan UPS di instansi kesehatan, seperti Rumah Sakit Cengkareng, hanya berkisar Rp 280 juta per unit yang berdaya 80 kva. "Sementara yang diajukan untuk sekolah diberi harga sekitar Rp 1,6 miliar per unit yang berdaya 120 kva, padahal sekolah kebutuhannya tidak seperti rumah sakit yang 24 jam," ujar Febri.
(rdk)