Jakarta, CNN Indonesia -- Daeng Koro punya banyak nama samaran. Pada 2013, ia lebih dikenal dengan nama Abu Autad Rawa. Dia juga disebut Ocep alias Abu Muhammad alias Jimmy. Nama aslinya: Sabar Subagyo –pria kelahiran Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 15 Januari 1963. (Baca:
Daeng Koro, si Kopral Dua Asal Bantul yang Bikin Geger)
Tahun 2013, Ansyaad Mbai yang saat itu menjabat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menyatakan Daeng Koro dan Santoso sebagai dua teroris berbahaya di republik ini. Daeng Koro dan Santoso yang tergabung dalam jaringan Santoso bersama-sama melatih calon teroris di Poso, Sulawesi Tengah.
Daeng Koro merupakan penghubung Santoso dan Abu Roban, dua pimpinan kelompok teroris paling aktif di Indonesia. Abu Roban menggerakkan Majelis Mujahidin Indonesia Barat, dan Santoso menggerakkan Majelis Mujahidin Indonesia Timur. Keduanya di bawah Abu Umar, jaringan Negara Islam Indonesia (NII).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Abu Roban telah tewas dalam penggerebekan Detasemen Khusus 88 Antiteror di Kampung Limbung, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Mei 2013. Sementara Daeng Koro tewas Jumat pekan lalu (3/4) dalam baku tembak kelompoknya dengan Densus di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Hanya Santoso yang kini masih hidup dan terus diburu.
Pelatihan yang digelar Daeng Koro dan Santoso di Poso salah satunya berasal dari kelompok Abu Roban yang melakukan aksi fa’i atau pengumpulan harta dengan cara kekerasan seperti perampokan di Lampung dan Pulau Jawa. Fa’i nyaris merata terjadi di Jawa, mulai Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur.
Duet Daeng Koro dan Santoso dimulai pada 2012, ketika Daeng Koro kembali ke Indonesia dari pelariannya di Mindanao, Filipina. Daeng Koro kabur ke Mindanao pada 2011 ketika kelompok Abu Umar ditangkap polisi. Mindanao masuk akal dipilih menjadi tujuan pelarian, karena ia kerap membantu Abu Umar membeli dan menyelundupkan senjata dari Mindanao ke Indonesia.
Dengan latar belakang kedekatan dengan Abu Umar, wajar bila sekembalinya ke Indonesia, Daeng Koro bersama kawan-kawannya di Makassar langsung bergabung dengan kelompok Santoso di Poso.
Ansyaad Mbai dalam bukunya ‘Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia’ mengisahkan betapa kolega Daeng Koro sebagian besar terdiri dari orang-orang yang amat berpengalaman, misalnya Abu Harun yang merupakan alumni pelatihan di Kashmir, Kholid dan Abu Uswah yang alumni Moro, serta Jodi yang Mujahidin Kayamanya.
Daeng Koro dan rekan-rekannya otomatis membuat kelompok Santoso makin kuat. Para alumni kelompok Poso pun dipanggil kembali untuk memperkuat pasukan Santoso. Mereka kemudian dikenal dengan sebutan Mujahidin Indonesia Timur. Seiring membesarnya jaringan kelompok itu, Santoso diangkat menjadi amir atau pemimpin kelompok, dan Daeng Koro diangkat menjadi penasihat atau orang yang dituakan.
Simak selengkapnya sepak terjang kelompok teroris ini di FOKUS:
Akhir Perlawanan Daeng KoroTewasnya Daeng Koro jelas merupakan pukulan untuk Santoso. Wakapolri Badrodin menyatakan hilangnya satu tokoh penting bisa mempengaruhi moril dan strategi kelompok Santoso. Kelompok bisa melemah hingga tercerai-berai. Namun Polri tak mau lengah dan terus memburu Santoso, tokoh utama yang tersisa.
(agk)