Jakarta, CNN Indonesia -- Pandangan mata Samuel Kaloke, seorang kakek berusia 61 tahun, tiba-tiba gelap pada Agustus tahun lalu. Berbekal kartu sebagai peserta Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Kelas I, ia bergegas ke Rumah Sakit Umum Balikpapan, Kalimantan Timur, hari itu juga.
Kesimpulan dokter di RSU Balikpapan, ada bagian dari saraf mata kanan Samuel yang tergeser. Dokter setempat pun menyarankan Samuel bertolak ke Jakarta, menuju Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
"Di RSCM, dokter bilang saya harus operasi," kata Samuel saat berbincang dengan CNN Indonesia, Februari lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Samuel tiba di RSCM pada 25 Agustus 2014. Kala itu, dia langsung menuju Rumah Sakit (RS) Kirana yang merupakan bagian dari RSCM. Tiga hari setelah itu, sekitar pukul 11.00 WIB, dia menjalani operasi mata sebelah kanan. Namun operasi tersebut ternyata bukan yang pertama karena Samuel harus kembali masuk meja operasi.
Selanjutnya pada 2 September 2014, seorang dokter RSCM menyarankan Samuel untuk menjalani operasi kedua, yang akhirnya direncakan untuk dilakukan pada 23 September. Pada tanggal yang direncanakan, Samuel kembali mengambil nomor antrean dan menjalani sejumlah pemeriksaan medis di poliklinik anestesi, rontgen, tes radiologi, dan poli internis.
"Sudah semua saya jalankan, saya kembali ke Lantai 2 RS Kirana. Suster di sana bilang, saya tidak bisa dioperasi karena ruangan penuh," tutur Samuel.
Pernyataan sang suster membuat Samuel merasa heran. Menurutnya, pihak RS semestinya memberi tahu dia lebih awal bahwa operasi tak bisa dilakukan lantaran tidak ada ruangan, sehingga dia tidak perlu menjalani serangkaian tes medis.
Yang semakin membuat Samuel merasa pelayanan RS mengecewakan adalah tidak ada kepastian kapan dia bisa kembali menjalani operasi. Samuel hanya diminta mengambil nomor urut dengan angka 183 untuk gilirannya menjalani bedah mata.
Hari itu, cerita Samuel, antrean sudah masuk ke nomor urut 60. Menurut informasi yang dia terima, RSCM melakukan lima kali operasi mata dalam satu hari. Dia pun memutuskan kembali ke Balikpapan sambil menunggu gilirannya.
Lama menunggu tanpa kabar, dia berinisiatif kembali ke RSCM pada 6 Oktober 2014. Tiba di RSCM, Samuel harus kembali menunggu, hingga di-pingpong sebanyak lebih dari tiga kali. "Saya ditipu. Dokter terakhir bilang belum bisa. Dia bilang, penyakit mata saya langka dan hanya ada satu dokter khusus," katanya.
Saat ini, kondisi mata kanan Samuel menderita retina glukoma dengan keluhan kerap berkedip, timbul bayang-bayang yang membuat sakit kepala, jarak pandang hanya 50 meter, dan sakit jika terkena cahaya. Dia mempertanyakan birokrasi di rumah sakit terbesar dan terlengkap di Indonesia itu.
Samuel telah beberapa kali melakukan komplain, baik secara langsung maupun lewat surat elektronik (email). Bahkan dia pernah mengirim keluhan ke surat pembaca sebuah majalah yang terbit secara nasional.
Surat pembaca itu membuat Wakil Menteri Kesehatan dan RSCM menghubunginya lewat telepon. Samuel diminta kembali mengambil nomor antrean.
Samuel memuji BPJS Kesehatan yang benar-benar membayar seluruh klaim atas operasi mata kanannya. Namun menyesalkan pelayanan rumah sakit terhadap pasien pengguna BPJS Kesehatan.
"Kalau saya dipermainkan, saya mau main kasar. Saya tidak menyoalkan BPJS Kesehatan, saya menyoalkan pelayanan RS yang melayani pasien BPJS Kesehatan," tandasnya.
Keluhan Samuel sejalan dengan aduan yang kerap diterima Ombudsman Republik Indonesia. Sepanjang tahun 2014, rumah sakit umum daerah (RSUD) paling banyak dilaporkan karena tidak memberikan pelayanan.
Komisioner Ombudsman Bidang Penyelesaian Laporan Pengaduan Budi Santoso mengatakan, keluhan terhadap rumah sakit umum daerah, selain "tidak memberikan pelayanan" yaitu melakukan penyimpangan prosedur, penundaan penanganan yang berlarut, bersikap diskriminatif, dan melakukan pungutan liar.
"Ada kejadian, pasien menunggu jadwal operasi tetapi tidak memperoleh kejelasan waktu. Nomor urut operasi dikomoditikan menjadi uang," kata Budi kepada CNN Indonesia, Februari lalu.
Menurut Budi, hal itu terjadi lantaran jumlah dokter bedah hanya satu orang, sehingga pasien yang menjalani operasi harus mengantre. Kejadian yang dimaksud Budi terjadi di RS Krasan, Jawa Timur, dengan nilai pungli beragam mulai dari Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu. Keluhan Samuel telah sampai di telinga Ombudsman. Laporannya tercatat jelas dalam tumpukan aduan yang sudah dikantongi lembaga pimpinan Danang Girindrawardana itu.
Wahyu, Asisten Bidang Penelitian Penyelesaian Laporan Pengaduan Ombudsman, menjelaskan RSCM kewalahan menangani 100 ribu pasien bedah mata setiap tahun. Kepada Ombudsman, manajemen RSCM mengakui sebanyak 50 persen pasien dipastikan tidak ditangani.
"Sampai Februari 2015, sudah ada 1.000 orang antre untuk dioperasi," kata Wahyu kepada CNN Indonesia, awal Februari lalu.
Berdasarkan penjelasan manajemen RSCM, tutur Wahyu, rumah sakit yang terletak di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, itu hanya memiliki empat ruang operasi mata dengan lima dokter spesialis bedah mata. Sementara ratusan ribu pasien dari seluruh Indonesia dirujuk ke RSCM.
"Kenapa tidak di RS swasta? Karena BPJS Kesehatan saat ini masih menjajagi komitmen. Sudah satu tahun belum selesai," ujar Wahyu.
Membludaknya pasien di RSCM diamini oleh Donald Pardede, Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemkes). Apalagi, pertumbuhan peserta BPJS Kesehatan juga diperkirakan terus melonjak. Per akhir tahun 2014, jumlah total peserta BPJS Kesehatan sebanyak 133 juta, dari target 121,6 juta peserta.
Untuk itu, kementerian saat ini fokus untuk memenuhi ketersediaan rumah sakit, klinik, maupun puskesmas dengan fasilitas lengkap. Targetnya, tidak semua pasien akan dirujuk ke rumah sakit besar di Jakarta seperti RSCM, RS Harapan Kita untuk jantung, dan lainnya.
"Sisi supply adalah tantangan terbesar kami. Peserta tumbuh luar biasa sehingga harus dikejar habis-habisan. Jangan sampai semua rujukan ke Jakarta," ujar Donald saat berbincang dengan CNN Indonesia.
Kini kementerian tengah menyiapkan 14 RS rujukan nasional yang akan memiliki level setara RSCM maupun RS Harapan Kita. RS rujukan tersebut akan berlokasi di 13 provinsi di antaranya Sumatera Utara, Sumatera Selatan, provinsi di Pulau Jawa, Maluku, Kalimantan, Papua, dan Sulawesi Selatan.