Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanggil tersangka kasus pajak PT Bank Central Asia, Hadi Poernomo, untuk diperiksa terkait kasus keberatan wajib pajak. Hal ini dilakukan pada saat pengajuan gugatan praperadilan Hadi akan digelar untuk pertama kalinya pada Senin (16/4) esok di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
"Yang bersangkutan diperiksa terkait kasus penerimaan permohonan keberatan wajib pajak PT BCA tahun 1999," ujar Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha saat dikonfirmasi Jumat (10/4).
Sebelumnya, Hadi telah mengajukan praperadilan ke PN Jakarta Selatan pada pertengahan Maret lalu. Pengajuan praperadilan itu diajukan lantaran mantan Direktur Jenderal Pajak itu keberatan atas penetapan tersangka oleh KPK. Namun, sidang praperadilan perdana Hadi diundur menjadi Senin pekan depan lantaran saat itu KPK sedang banjir praperadilan.
Kuasa hukum Hadi, Yanuar Wasesa mengatakan, KPK tidak berwenang menyidik kewenangan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur Pasal 25 dan 26 Undang-undang nomor 99 tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Menurut Yanuar, putusan menerima keberatan pajak PT BCA tahun 1999 bukan ranah tindak pidana korupsi berdasar Pasal 14 UU Tipikor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pelanggaran UU perpajakan itu masuk wilayah Tipikor kalau ada feed back," ujarnya.
Sementara itu, kuasa hukum Hadi lainnya, Maqdir Ismail mengatakan Hadi Poernomo tidak akan hadir pada pemeriksaan hari ini akibat menunggu jalannya sidang praperadilan.
"Beliau tidak hadir, karena sedang diajukan praperadilan. Pagi tadi kolega kami, Yanuar P Wasesa datang untuk menyampaikan alasan ketidakhadiran Pak HP ke KPK," kata Maqdir.
Hadi ditetapkan jadi tersangka lantaran diduga menyalahgunakan wewenang saat menjabat Dirjen Pajak periode 2002 hingga 2004. Nahas bagi Hadi, status tersangka itu dia sandang persis pada hari ulang tahunnya yang ke-67, yakni pada 21 April 2014.
Penetapan status tersangka menjadi kado terburuk lantaran Hadi tersandung kasus dugaan korupsi pengurusan pajak yang diajukan PT Bank Central Asia Tbk (BCA) tahun 2003. Total kerugian negara ditaksir mencapai Rp 375 miliar.
Berdasarkan lebih dari dua alat bukti yang diperoleh KPK, perbuatan melawan hukum yang dilakukan Hadi adalah dengan cara menyalahgunakan wewenang dalam menerima seluruh permohonan keberatan wajib pajak atas surat ketetapan pajak nihil (SKPN) pajak penghasilan (PPh) PT BCA tahun pajak 1999.
Bermula pada Juli 2003, Bank BCA mengajukan surat keberatan pengenaan pajak atas transaksi non-performing loan (NPL) atau kredit macet Rp 5,7 triliun kepada Direktorat Pajak Penghasilan (PPh) Ditjen Pajak, Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Lantas pada 13 Maret 2004, Direktorat PPh mengirimkan surat pengantar risalah yang berisi keberatan atas permohonan BCA tersebut kepada Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak. Surat itu lengkap dengan hasil telaah yang menyimpulkan permohonan keberatan wajib pajak Bank BCA ditolak.
Pada 17 Juli 2004 atau sehari sebelum jatuh tempo bagi Dirjen Pajak untuk memberikan keputusan final atas permohonan BCA, Hadi membuat keputusan yang mengagetkan. Dia balik mengirimkan nota kepada Direktorat PPh agar mengubah kesimpulan. Dari sinilah peran Hadi terendus.
Hadi meminta kesimpulan yang semula menolak agar diubah menjadi menerima seluruh keberatan. Namun, belum selesai bawahannya mengubah risalah, 18 Juli 2004, Hadi justru menerbitkan surat ketetapan pajak nihil (SKPN) sebagai tindak lanjut telah diterimanya keberatan yang diajukan BCA.
Atas perbuatannya, pejabat asal Pamekasan, Jawa Timur, itu diduga melanggar pasal 2 ayat 1 dan/atau pasal 3 UU No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Dia terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara.
(utd)