Jakarta, CNN Indonesia -- Bekas Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono didakwa mengorupsi duit proyek pengadaan TransJakarta tahun anggaran 2012 dan 2013 hingga Rp 63,8 miliar. Jaksa dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Victor Antonius mengatakan serangkaian kewajiban yang dibebankan pada Udar selaku Pengguna Anggaran tak ia lakukan.
"Terdakwa tidak merinci biaya pekerjaan perencanaan pengadaan busway paket I dan paket II tahun 2012 sebesar Rp 200 juta," ujar Jaksa Victor dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (13/4).
Rincian biaya didelegasikan kepada Ezri Agson selaku Deputi Kepala Bidang Teknologi Industri Rancang Bangun Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sehingga terdapat kelebihan pembayaran selama satu bulan yang tidak seharusnya dibayarkan, yaitu honor tenaga ahli selama satu bulan sebesar Rp 58,7 juta setelah dikurangi pajak," ujar Jaksa Victor.
Selain itu, duit Rp 200 juga tak disetorkan ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), melainkan dibagi ke sejumlah pegawai BPPT dengan sepengetahuan Udar. Kemudian hasil perencanaan dari BPPT diloloskan sebagai Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
"Udar tidak memberi petunjuk HPS kepada Hasbi Hasibuan selaku Pejabat Pembuat Komitmen untuk dikaji dan diteliti," kata Jaksa. Padahal Udar mengetahui HPS haruslah dibuat oleh PPK. Dalam HPS, satu unit bus dihargai Rp 4,028 miliar tanpa rincian detail.
Lebih lanjut, Udar didakwa mengetahui penyimpangan yang dilakukan perusahaan penggarap proyek busway, PT Saptaguna Daya Prima. Bus yang diberikan oleh kedua perusahaan tersebut tak sesuai spesifikasi teknis.
"Meski 18 busway tidak memenuhi spesifikasi teknis, terdakwa Udar menyetujui untuk melakukan pembayaran dengan menandatangani Surat Perintah Membayar seluruhnya Rp 59,8 miliar," kata Jaksa. Faktanya, perusahaan vendor hanya mengeluarkan duit Rp 51,3 juta. Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian uang negara Rp 8,57 miliar.
Sementara dalam tahap pengawasan, Udar didakwa mengetahui adanya selisih harga pembayaran oleh Dinas Perhubungan DKI Jakarta dengan realisasi yang dikeluarkan oleh perusahaan penggarap pengawasan, PT Cinipta Triutama Jaya.
"Untuk pekerjaan pengawasan, Sutarja selaku Direktur PT Cinipta menerima Rp 846 juta, ternyata realisasi hanya Rp 525 juta," kata Jaksa. Alhasil terdapat selisih Rp 321 juta. Selisih lain juga muncul dari honor tim pengendali teknis dan tim pendamping pengendali teknis senilai Rp 623 juta.
Pada proyek 2012 tersebut, total keseluruhan kerugian negara yakni Rp 9,5 miliar. Pada tahun berikutnya, Udar didakwa tetap melakukan korupsi. "Setidaknya Rp 54,3 miliar sesuai dengan Laporan Hasil Audit Penghitungan Keuangan Negara yang dibuat Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan karena kemahalan harga atau kelebihan pembayaran," tutur Jaksa Victor.
Kelebihan pembayaran tersebut meliputi pekerjaan pengadaan busway articulated paket I sebanyak 30 unit dengan selisih harga Rp 17,4 miliar, pekerjaan pengadaan busway articulated paket IV sebanyak 30 unit dengan selisih harga Rp 13,8 miliar, pekerjaan pengadaan busway articulated paket V sebanyak 29 unit dengan selisih harga Rp 13,6 miliar, pekerjaan pengadaan busway single paket II sebanyak 36 unit dengan selisih harga Rp 67,4 miliar, dan pekerjaan pengawasan dengan selisih harga senilai Rp 2,4 miliar.
Atas tindak pidana tersebut, Udar didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Menanggapi dakwaan tersebut, Udar membantah melakukan korupsi. "Saya tidak mengerti fakta dan tuduhan terhadap korupsi busway. Itu fitnah," katanya di penghujung sidang. Udar berserta kuasa hukumnya akan menuangkan keberatan atas dakwaan jaksa dalam eksepsi yang dibacakan Senin pekan depan (20/4).
(agk)