Seputar Kontroversi dan Dugaan Korupsi Dana Aspirasi DPR

Aghnia Adzkia | CNN Indonesia
Rabu, 10 Jun 2015 13:03 WIB
Wacana dana aspirasi untuk anggota DPR diduga menerabas UU Keuangan Negara dan menyalahi aturan karena pelaksana anggaran menjadi tugas pemerintah.
Ilustrasi. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan dana aspirasi dengan dalih untuk merengkuh suara-suara masyarakat atau konstituen. Namun jumlah dana aspirasi yang mencapai Rp 20 miliar untuk setiap anggota memunculkan beragam kontroversi.

Manager Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Apung Widadi menegaskan, salah satu dugaan yang mencuat yakni ada potensi korupsi dana tersebut. Alih-alih mengalirkannya untuk masyarakat di daerah pilihan, duit puluhan miliar tersebut bisa jadi disalahgunakan.

"Dana aspirasi ini mirip dengan dana batuan sosial, potensi korupsinya tinggi. Bagaimana pertanggungjawabannya? Biasanya di dapil, ada golongan tertentu seperti kader politik dan bukan masyarakat umum," ujar Apung ketika dihubungi CNN Indonesia. (Baca: Kepala BKF Tegaskan Dana Aspirasi Bukan Bancakan DPR)

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apung berpendapat, potensi kerugian negara apabila dana tersebut disalahgunakan dapat mencapai Rp 11,2 triliun dengan asumsi seluruh anggota dewan yang mengantongi duit tersebut, tak membuka laporan pertanggungjawaban ke publik.

Hal senada diucapkan peneliti hukum dan politik anggaran Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam. "Korupsi itu masuk dalam ruang dengan pengelolaan anggaran tidak jelas, tidak ada transparansi, dan akuntabilitas. Dana aspirasi ini sampai sekarang tidak tahu bagaimana mekanismenya dan bagaimana masyarakat mengawasi," kata Roy.

Alih-alih mengelola anggaran, Roy berpendapat, DPR justru bertugas dan memiliki wewenang untuk mengawasi anggaran. Pada konteks ini, DPR berkedudukan sebagai legislatif. Sementara pelaksana sekaligus pengelola Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) adalah pemerintah atau pihak eksekutif. "Ini memunculkan konflik antara eksekutif dan legislatif (DPR). Ini menabrak sistem," tuturnya. (Baca: Banggar Akui Belum Sosialisasi Dana Aspirasi DPR)

Apung sepakat dengan Roy. Apung menduga dana aspirasi telah menerabas UU Keuangan Negara. Dalam undang-undang tersebut, pemerintah telah mengalokasikan Dana Alokasi Khusus dan Dana Alokasi Umum untuk daerah melalui prosedur dan mekanisme tertentu. Dengan menambahkan dana aspirasi, maka anggota dewan dianggap telah menyalahi aturan.

"DPR tidak punya kewenangan untuk mengelola dan mengalokasikan anggaran. DPR adalah legislatif dan wewenangnya mengawasi anggaran. Sedangkan dia membahas anggaran sendiri dan untuk dirinya sendiri," ujar Apung.

Kontroversi lain terkait dana aspirasi adalah potensi nepotisme mencuat. Roy bercerita, anggota dewan ketika berkunjung ke dapil dinilai mengumbar janji kepada para konstituen atau justru kader politik. Janji tersebut melalui beragam cara seperti pemberian tanggung jawab sebagai pengelola proyek sekaligus memberikan upah. (Baca: DPR Minta Jatah Dana Aspirasi Dapil Rp 20 Miliar per Anggota)

Padahal pemerintah memiliki mekanisme khusus untuk menentukan penggarap proyek di atas Rp 100 juta, yakni melalui lelang. Roy menengarai kinerja anggota dewan semakin tak efektif apabila ditambah dengan serangkaian program yang disponsori dana aspirasi.

"Kalau dikelola mengatasnamakan DPR, mengurangi prinsip pengawasan DPR. Bagaimana mungkin DPR mengawasi sendiri? Misal yang melakukan timnya sendiri. Kalau DPR akan konsen dengan dana ini, dia akan melupakan fungsi pengawasan untuk alokasi program lain yang diusulkan pemerintah," katanya.

Pasca revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) disahkan, DPR bahkan tak memiliki badan pengawas sebagai mekanisme kontrol internal. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) pun dihapuskan. Alhasil, pengawasan terhadap anggaran yang dikelola DPR melemah.

Seperti diketahui, wacana dana aspirasi tengah berkembang di DPR. Sebanyak Rp 20 miliar untuk setiap anggota akan menjadi pagu untuk merealisasikan usulan program pembangunan daerah pemilihan (UP2DP). Estimasi dana aspirasi yang dituntut para anggota dewan itu mencapai Rp 11,2 triliun dan tengah diupayakan masuk dalam APBN 2016.

DPR berdalih menggunakan Pasal 72 UU MD3 yang menjelaskan anggota DPR bertugas untuk menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. "Itu disalahtafsirkan. Itu sifatnya tidak uang tapi harusnya program kegiatan," kata Apung. (rdk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER