Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah menyatakan dirinya siap untuk membantu menangani masalah kejahatan terhadap anak-anak di Indonesia. Hal tersebut disampaikannya menanggapi perkara pembunuhan Angeline Megawe (8) di Bali.
"Saya siap untuk jadi fasilitator untuk menangani persoalan anak di Indonesia," ujar Fahri di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (11/6).
Fahri mengakui lemahnya sistem perlindungan anak di Indonesia. Hal itu, lanjut Fahri, terlihat mulai dari masih secara bebasnya anak-anak hingga tengah malam, hingga sistem pengadopsian anak. Menurutnya, hal tersebut terjadi secara masif dan tidak terdata di dalam undang-undang. (Baca:
Ironi Angeline: Dikubur di Rumah, Dicari Sampai Luar Negeri)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya kira Indonesia harus pikirkan sistem perlindungan anak yang lebih komprehensif," tutur politikus Partai Keadilan Sejahtera ini.
Adapun Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menilai perlu adanya revisi undang-undang Perlindungan Anak untuk menghindari terjadinya kejadian serupa. Hidayat, yang merupakan anggota Komisi VIII ini pun berharap agar usulan revisi UU Perlindungan Anak dapat dibahas lebih lanjut di Komisi VIII.
Sementara itu, anggota Komisi VIII Ledia Hanifa menilai terjadinya kejahatan terhadap anak seperti yang menimpa Angeline disebabkan karena kurang tersosialisasi dengan baiknya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Selain itu, ia menilai sedikit sulit untuk merevisi undang-undang tersebut karena baru saja direvisi tahun lalu.
"Tambahan di antaranya tentang perlindungan khusus dan pemberatan hukuman," ujarnya. (Baca:
MPR-DPR Dukung Hukuman Mati untuk Pembunuh Angeline)
Diketahui, dalam perkara Angeline adanya dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh Agus, penjaga keamanan di kediaman Angeline. Atas hal tersebut, Ledia mengatakan setidaknya Agus dapat dihukum minimal lima tahun dan maksimal 20 tahun penjara.
Apabila memang terbukti, lanjut Ledia, Agus dapat dijerat pasal 81 UU Perlindungan Anak karena melanggar Pasal 76D, yakni setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
(obs)