Praperadilan Margriet Jadi Ujian Profesionalisme Polisi

Helmi Firdaus | CNN Indonesia
Selasa, 30 Jun 2015 06:05 WIB
Jika polisi mendapatkan bukti-bukti secara ilmiah, tidak perlu ada yang dikhawatirkan dari praperadilan.
Aktivis menggelar gerakan seribu lilin, tabur bunga, dan orasi untuk Angeline, di Jakarta, Kamis (11/6). (CNNIndonesia/Aghnia Adzkia)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kasus Angeline ini jadi pembuka atas banyak hal. Tapi yang paling penting adalah ini akan jadi pembuktian apakah polisi bisa bekerja secara profesional atau tidak.

Pembuktian pertama soal itu adalah kemenangan di praperadilan. Sebagaimana diketahui, pengacara Margriet Megawe, Hotma Sitompoel menyatakan akan mengajukan praperadilan atas penetapan tersangka pembunuhan Angeline terhadap kliennya. (Baca juga: 18 Hari Drama Margriet Jadi Tersangka Pembunuhan Angeline)

Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel menilai kasus ini akan jadi pembuktian apakah polisi tetap profesiobal meski dibawah tekanan publik yang kuat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Menurut saya, tekanan publik yang tinggi adalah keniscayaan. Itu bukan persoalan,” katanya saat berbincang dengan CNN Indonesia, Senin (29/6). Menurut dia, isu yang essensial adalah bagaimana kepolisian bisa bekerja secara transparan dan kredibel, termasuk dari sisi keilmuan.

Reza menambahkan, jika bukti-bukti yang didapatkan polisi berdasarkan hal-hal disebut di atas, maka tidak perlu ada hal yang dikhawatirkan dalam praperadilan.

Dalam penjelasannya, polisi menyebutkan bahwa penetapan tersangka terhadap Margriet didasarkan pada tiga hal. Keterangan saksi, hasil laboratorium forensik dan hasil olah tempat kejadian perkara. (Baca juga: Margriet Tersangka Utama, Polisi Diminta Tak Berhenti Usut)

“Saya berharap itu adalah bukti-bukti dari kerja profesional. Kita harus berasumsi bahwa satu-satunya lembaga yang kompeten untuk mengungkap kasus ini adalah Polri,” katanya.

BACA FOKUS: Babak Baru Kasus Angeline

Polisi dalam kasus ini tampaknya harus mengandalkan bukti-bukti yang didapat secara ilmiah yang sulit didebat kebenarannya. Dalam kasus ini polisi mengandalkan bukti-bukti yang mereka dapatkan di tempat kejadian perkara. Seperti bercak darah yang ditemukan di kamar Agus dan Margriet serta sidik jari yang mereka temukan.

Keterangan dari Agus dan Margriet juga tak kalah penting. Hanya saja, keterangan keduanya akan berbeda dan Agus punya kecenderungan tidak memberikan keterangan secara konsisten. (Baca juga: Pengacara: Agus Tolak Perintah Margriet Perkosa Angeline)

Itu mengapa, polisi memerlukan lie detector untuk mendapatkan pengakuan yang dinilai paling valid untuk mendukung bukti-bukti yang didapatkan secara ilmiah. Atau sebaliknya. Polisi mendapatkan bukti-bukti ilmiah yang harus diperkuat dengan keterangan dari keduanya.

Menurut Reza, bukanlah persoalan mudah bagi polisi untuk tetap profesional dalam tekanan publik yang tinggi. Dia menyontohkan, di Amerika Serikat pada tahun 1990-an, statistik kejahatan sebenarnya menurun. Namun, di ruang publik tetap deras narasi tentang tetang kejahatan yang terus tinggi, akibatnya, fear of crime tetap marak.

“Itu memunculkan tekanan ekstra bagi lembaga penegakan hukum,” katanya. Risikonya adalah, lanjut dia, dikhawatirkan terjadi langkah-langkah yang kurang profesional yang pada gilirannya bisa membuat orang yang tidak bersalah malah dijebloskan ke dalam penjara.

Sebelumnya, Kabid Humas Polda Bali Komisaris Besar Heri Wiyanto menyatakan bahwa kerja polisi tidaklah didasarkan pada tekanan publik atau opini publik. Kerja polisi, lanjut dia, adalah didasarkan pada temuan di lapangan dan bukti-bukti. (hel)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER