Jakarta, CNN Indonesia -- Peneliti Indonesian Legal Roundtable, Erwin Natosmal, mengatakan rekomendasi Komisi Yudisial terkait pelanggaran etik dan pedoman perilaku hakim yang dilakukan Sarpin Rizaldi merupakan angin segar bagi kekuasaan kehakiman, khusunya lembaga praperadilan.
Erwin berpendapat keputusan sidang pleno KY yang menetapkan hukuman enam bulan non-palu bagi Sarpin akan menjadi preseden positif bahwa kekuasaan kehakiman tidak dapat ditafsirkan secara semena-mena.
“Putusan itu menjadi bukti, hakim yang melakukan kesalahan administratif saja dapat dihukum, apalagi yang salah secara substantif,” ujar Erwin saat ditemui di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (1/7).
(Lihat Juga: KY Diminta Keluarkan Putusan Progresif Kasus Hakim Sarpin)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
KY melalui putusannya menyebut empat kesalahan Sarpin. Pertama, Sarpin tidak teliti ketika mengutip keterangan ahli yang kemudian digunakannya sebagai pertimbangan dalam memutus permohonan praperadilan Komisaris Jenderal Budi Gunawan.
Kesalahan kedua Sarpin adalah tidak teliti menyebut profesi saksi ahli. Sarpin menyebut Bernad Arief Sidharta sebagai ahli hukum pidana, padahal guru besar Universitas Parahyangan itu merupakan ahli filsafat hukum.
Dua kesalahan Sarpin lainnya tidak berkaitan langsung dengan sidang yang ia pimpin di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. KY memutuskan, Sarpin terbukti menerima pembelaan dari advokat secara gratis. Selain itu, Sarpin juga dinilai bertindak tidak sopan karena menantang KY saat hendak memeriksanya.
(Baca Juga: Pengacara Sarpin Datangi KY Tolak Diperiksa soal Praperadilan)Erwin menilai putusan KY yang tidak membahas substansi putusan sudah tepat. Setelah ini, menurutnya, Mahkamah Agung harus tetap harus bersikap dengan mengeluarkan produk hukum yang mengatur hukum formil praperadilan secara rinci.
“Harus ada peraturan baru, kalau tidak, praktek seperti menghakimi perkara yang obyeknya tak masuk kategori sengketa praperadilan akan tetap terjadi,” katanya.
(utd)