Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengancam bekas Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Alasannya, Ilham mangkir penyidikan untuk ketiga kalinya.
"Prosedurnya bisa masuk DPO (Daftar Pencarian Orang)," kata Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji saat jumpa pers di kantornya, Jakarta, Senin (6/7).
KPK kini tengah mengkaji alternatif peluang untuk melancarkan strategi tersebut. Alternatif pertama, DPO dapat diterapkan sembari menunggu Ilham kembali ke Tanah Air setelah melakukan pemeriksaan medis di Singapura. (Baca:
Absen Pemeriksaan KPK, Bekas Walikota Makkasar Pilih Umroh)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alternatif kedua, pihak KPK akan bekerja sama dengan imigrasi dan pihak terkait lain untuk segera menetapkan status DPO di mana pun Ilham berada. Alhasil, Ilham bisa ditangkap sekalipun berada di Singapura.
"Kita (masih) tunggu dia datang dari Singapura (untuk menjalani pemeriksaan," katanya.
Sebelumnya, Ilham melalui pengacaranya, Rudi Alfonso, memastikan tak akan hadir dalam panggilan pemeriksaan pada Senin ini (6/7). Rudi menjelaskan kliennya masih dalam masa penyembuhan seusai menjalani pemeriksaan medis tulang belakang di sebuah rumah sakit di Singapura.
Kendati demikian, Ilham mengaku siap ditahan jika nanti diperiksa tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Ilham terjerat kasus instalasi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) tahun anggaran 2006-2012. (Baca:
KPK Panggil Ulang Eks Wali Kota Makassar Ihwal Korupsi PDAM)
"Dia sudah sadar kalau mau ditahan, jadi siap ditahan kalau diperiksa nanti. Tapi untuk pemeriksaan hari ini tidak datang karena masih di Singapura. Ilham akan kembali ke Indonesia Hari Rabu dan mau diperiksa nanti Kamis tanggal 9 Juli," klaim Rudi.
Sebelumnya, KPK telah mengisyaratkan penahanan untuk Ilham. Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi Priharsa Nugraha saat jumpa pers di Jakarta, Rabu (1/7), menjelaskan penahanan dilakukan jika berkas lengkap.
Ilham disangka melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001.
(obs)