DPR Minta Pemerintah Tidak Simpang Siur Soal Tolikara

Basuki Rahmat N | CNN Indonesia
Senin, 20 Jul 2015 18:34 WIB
Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi agama meminta pemerintah tak memberikan pernyataan yang simpang siur terkait insiden Tolikara.
Ketua Komisi VIII DPR Saleh Daulay saat menyerahkan hasil pembahasan BPIH kepada Menteri Agama didampingi para wakil ketua komisi (dari kanan ke kiri) Ledia Hanifa, Deding Ishak, dan Sodik Mujahid di Gedung DPR Senayan, Jakarta. (Doc Pribadi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi agama meminta pemerintah tidak memberikan pernyataan yang simpang siur terkait insiden penyerangan jemaah salat Id dan pembakaran bangunan saat Hari Raya Idul Fitri (17/7) di Tolikara, Papua.

Ketua Komisi VIII DPR RI Saleh Partaonan Daulay menuturkan pernyataan yang simpang siur bisa menyebabkan kebingungan dan ketidakpastian informasi. Menurut politikus PAN ini, hal tersebut terlihat dalam penjelasan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin terkait adanya perda yang melarang rumah ibadah Islam memakai pengeras suara di Tolikara.

“Kemarin wapres mengklarifikasi pernyataannya terkait penyebab kerusuhan,” ujar Saleh kepada CNN Indonesia, Senin (20/7).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Awalnya, kata Saleh, wapres menduga bahwa kerusuhan terjadi karena pengeras suara. Setelah banyak yang mengecam, wapres lalu meluruskan pernyataannya dengan mengatakan bahwa di sana memang ada perda yang melarang pemakaian pengeras suara.

Namun, lanjut Saleh, pernyataan wapres tersebut kemudian disangkal oleh menag. Menurut menteri agama, tidak benar bahwa di Tolikara ada perda seperti itu. Walaupun menag sendiri mengakui adanya wacana ke arah pembuatan perda tersebut.  (Baca: Menag Bantah Ada Perda Agama di Tolikara, Papua)

Saleh menilai pernyataan berbeda itu menunjukkan tidak adanya informasi valid yang diterima pemerintah pusat. “Fakta ini dikhawatirkan akan berpengaruh dalam proses penanganan dan pengusutan kasus tersebut,” kata dia.

Menurut Saleh, bisa jadi dengan adanya perbedaan informasi itu membuat masyarakat kesulitan untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi di Tolikara.

Sebagai pembantu presiden dan wapres, lanjut Saleh, menag semestinya secara pro aktif memberikan informasi yang benar kepada atasannya. “Jangan sampai informasi pihak lain yang tidak otoritatif dijadikan rujukan,” tuturnya. “Tidak sepantasnya wapres salah dalam memberikan pernyataan,” tambah Saleh.

Anggota Komisi VIII DPR Raden Muhammad Syafi'i mengatakan perda berbasis agama tidak menjadi masalah bila dibuat asalkan tidak melanggar hak asasi pemeluk agama lain. (Baca: Rhoma Irama: Umat Islam-Kristen, Jangan Terprovokasi Tolikara)

“Kalau misalnya dalam perda di Tolikara isinya mewajibkan umat Kristen agar ke gereja setiap minggu, silakan, tapi jangan melarang umat lain dalam menjalankan kegiatan ibadah,” ujar politikus Partai Gerindra ini kepada CNN Indonesia, Senin (20/7). (obs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER