Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi agama dan sosial menilai pemerintah sudah kecolongan dengan terjadinya insiden penyerangan jemaah salat Id dan pembakaran bangunan saat Hari Raya Idul Fitri (17/7) di Tolikara, Papua. Pemerintah juga diminta mewaspadai peraturan daerah berbasis agama yang isinya merugikan pemeluk agama lain.
Anggota Komisi VIII DPR Raden Muhammad Syafi'i mengatakan pihak intelijen tidak bekerja dengan baik sehingga bisa terjadi kasus Tolikara. “Kecolongan dong itu namanya, masa sebelumnya tidak terdeteksi padahal sudah ada gejala kerawanan,” kata Syafi'i kepada CNN Indonesia, Senin (20/7).
Namun menurut Penasihat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra ini, tidak menutup kemungkinan kasus Tolikara sengaja diciptakan oleh pihak tertentu. “Ada ‘pesanan’ agar dibuat situasi seperti itu. Jadi bisa juga ada pembiaran,” ujar Syafi’i.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah, kata Syafi’i, juga harus mencermati perda-perda berbasis agama yang berpotensi melanggar hak asasi pemeluk agama lain. Misalnya, perda suatu agama yang melarang suatu aktivitas pemeluk agama lain. “Seperti di Tolikara itu akan dibuat perda yang bisa merugikan umat Islam,” kata dia.
Syafi’i mencontohkan perda berbasis agama yang tidak merugikan umat agama lainnya yaitu perda syariat Islam atau perda syariah di Aceh. Di Aceh, Polisi Syariah Aceh tidak melarang wanita non muslim untuk berpakaian ketat. “Waktu ada razia pakaian ketat kemudian dari KTP diketahui bahwa wanita itu non muslim maka dilepaskan,” tuturnya. (Baca:
Kemendagri: Insiden Tolikara Tak Terkait Perda Khusus Papua)
Jadi, Syafi’i menekankan perda-perda bermuatan nilai agama hanya diberlakukan pada suatu umat agama tertentu dan tidak terkait dengan agama lainnya yang dapat dirugikan. “Kalau misalnya di Tolikara itu mau ada perda agama silakan tapi jangan melanggar hak umat Islam dalam menjalankan kegiatan keagamaan,” ujarnya.
Dia menambahkan, umat Islam di Bali juga pernah mencotohkan toleransinya yang besar ketika umat Hindu merayakan Nyepi. (Baca:
MUI: Insiden Tolikara Bukti Toleransi Beragama Masih Rendah)
“Pada Hari Raya Nyepi itu umat Muslim tidak mengeluarkan suara azan dari masjid-masjid atau musala,” ucap Syafi’i.
Kemendagri diminta tidak latahMunculnya kasus Tolikara menjadi soroton khusus anggota DPR. Kalangan Komisi VIII meminta Kementerian Dalam Negeri tidak salah langkah dalam menyikapi insiden di Tolikara. Raden Muhammad Syafi'i mengkhawatirkan dengan adanya peristiwa buruk tersebut lantas kemudian Kemendagri melarang adanya perda-perda syariah.
“Kemendagri jangan kemudian latah dengan melarang atau mempersulit perda-perda berbasis agama yang sudah ada seperti perda syariah,” ujar Syafi'i.
Menurut Syafi’i perda-perda berbasis ajaran agama yang sudah ada seperti pelarangan minuman keras dan judi bagi kaum muslim tidak bisa ditiadakan. “Jangan diberangus oleh pemerintah perda-perda syariah yang tidak melanggar hak pemeluk agama lain,” katanya.
Syafi’i mengingatkan pentingnya sejumlah konsensus dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. “Itu harga mati yang harus dipertahankan sampai kapanpun,” tutur dia.
Serupa dengan Syafi’i, Ketua Komisi VIII DPR Saleh Partaonan Daulay menyatakan setiap perda yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. (Baca:
Menag Bantah Ada Perda Agama di Tolikara, Papua)
“Secara umum kan pemerintah wajib melindungi pelaksanaan ajaran agama warga negara,” ujar politikus Partai Amanat Nasional ini kepada CNN Indonesia, Senin (20/7).
Saleh mengatakan, tugas Kemendagri adalah memastikan bahwa suatu perda itu sesuai dengan semangat kerukunan umat beragama atau tidak. “Jika tidak, harus direvisi atau dicabut tapi kalau sesuai jangan sampai dicabut atau direvisi,” tutur Saleh.
(obs)