Jakarta, CNN Indonesia -- Majelis Ulama Indonesia menilai program pemerintah yang kini digulirkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan tak memenuhi syariah. Oleh karenanya, saat ini para ulama menetapkan program jaminan kesehatan masyarakat itu dalam kondisi darurat.
Menurut Ketua Bidang Fatwa MUI KH Ma’ruf Amin yang dihubungi CNN Indonesia, Rabu (29/7), penerapan kondisi darurat berarti masyarakat masih diperbolehkan untuk menikmati layanan. Namun, jangka waktunya dibatasi sampai pemerintah yang memberlakukan program kesehatan itu memiliki solusi yang sesuai dengan syariah.
"Alasan penerapan kondisi darurat, lantaran program saat ini sedang berjalan dan dinikmati masyarakat serta merupakan program wajib dari pemerintah, maka disebut dalam kondisi darurat," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ma’ruf menyatakan bahwa keputusan soal jaminan kesehatan menjadi salah satu putusan Ijtima (pertemuan) Ulama Komisi Fatwa se Indonesia ke-5 yang digelar di Tegal beberapa waktu yang lalu.
“Itu kan pertemuan ulama-ulama dan BPJS Kesehatan memang menjadi salah satu sorotannya. Dari pertemuan itu dihasilkan bahwa BPJS Kesehatan itu tidak sesuai syariah atau haram dan BPJS Kesehatan yang sekarang ini darurat,” katanya.
Untuk itu, Ma’ruf mendesak pemerintah untuk segera membuat aturan baru BPJS Kesehatan yang sesuai dengan syariah. Hanya saja, Ma’ruf menyatakan MUI belum mengirimkan surat resmi kepada pemerintah terkait pandangan mereka atas BPJS Kesehatan yang kini tengah berjalan.
“Itu kan pertemuan ulama-ulama. Tetapi pemerintah memang harus segera membuat aturan BPJS Kesehatan yang sesuai syariah karena darurat,” katanya.
Pertimbangan Fatwa Ma’ruf Amin menyebutkan, BPJS Kesehatan yang kini tengah berjalan ini tidak sesuai syariah karena mengandung unsur gambling (judi) di mana di sana ada bunga.
Menurut Ma’ruf, ini tidak sesuai dengan prinsip asuransi yang diyakini Islam yakni saling membantu. “Ini BPJS Kesehatan sekarang konvensional, makanya darurat. Untuk itu, pemerintah harus membuat sistem BPJS Kesehatan yang sistemnya sesuai dengan syariah,” ujarnya.
Untuk diketahui, pembukaan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia berlangsung pada 7-10 Juni 2015 di Pondok Pesantren Attaudiyah Cikura, Tegal, Jawa Tengah ini dilakukan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Acara ini juga dihadiri oleh Menteri Agaman Lukman Hakim, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, serta Wakil Gubernur Jawa Tengah Heru Sudjatmoko. Adapun hal yang dibahas dalan acara ini terbagi menjadi tiga komponen utama. Pertama, masalah-masalah strategis kebangsaan, masalah fiqih dan hukum Islam tematik kontemporer, dan masalah hukum dan perundang-undangan.Pembahasan terkait masalah strategis kebangsaan di antaranya yaitu soal takfiri, akar terorisme di Indonesia, dan hukum pemimpin yang ingkar janji.Sedangkan terkait masalah fiqih dan hukum Islam kontemporer antara lain meliputi istihalah dan haji berulangkali. Adapun mengenai masalah hukum dan perundang-undangan dibahas soal penguasaan tanah dalam perspektif hukum positif dan hukum Islam dan soal BPJS Kesehatan Syariah.
Dalam pidato pembukaan itu, JK juga menyampaikan hal yang kini masih jadi kontroversi, yakni penggunaan kaset pengajian di masjid dengan memakai speaker.
JK menyayangkan maraknya rekaman pengajian yang diputar menggunakan kaset sebelum dimulainya salat di masjid-masjid. Menurutnya rekaman pengajian seperti itu berpotensi menimbulkan “polusi suara” dan dinilai juga tak mampu memberikan pahala pada individu yang mengaji. "Berhentikan itu, apa urusannya Anda mengaji pakai kaset, tidak ada pahalanya itu. Kalau ada pahalanya, itu orang Jepang yang dapat karena itu pasti pakai Sony," kata JK dalam pidato pembukannya. JK, yang menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia (DMI) mengatakan pemutaran rekaman mengaji lewat kaset tidak efektif dan efisien serta malahan mengganggu ketenangan masyarakat sekitar. Ditambah lagi mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam membuat banyaknya masjid dalam jarak dekat dan juga membuat tumpang tindih suara di antara masjid tersebut. (hel)