LIPUTAN KHUSUS

Penolakan, Kecurigaan, dan Amarah Warga di Jatigede

Yohannie Linggasari | CNN Indonesia
Kamis, 30 Jul 2015 14:00 WIB
Penolakan warga terdampak Waduk Jatigede bukan hanya soal ganti rugi, tapi soal penyelesaian dampak sosial yang ditimbulkan tidak pernah disodorkan.
Kawasan Bendungan Jatigede, Sumedang, rencananya akan segera beroperasi 1 Agustus 2015. Akan menenggelamkan 28 desa di wilayah Sumedang dan akan mengairi 90 ribu hektar lahan pertanian dengan pembangkit listrik mencapai 110 MW. (CNN Indonesia/Hafizd Mukti)
Jakarta, CNN Indonesia -- "Sudah puluhan tahun pembangunan waduk ini berlangsung. Selama itu pula kami berjuang menolak waduk ini. Lebih baik saya mati dalam perjuangan daripada mati kelaparan di kemudian hari."

Begitu curahan hati Nata Hendra Suryana, warga Desa Cipaku, Kabupaten Sumedang yang tinggal di sekitar Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang. (Baca juga: Jatigede: Cerita Panjang Persoalan Pembebasan Lahan)

Hendra yang mewakili warga di sekitar Waduk Jatigede menyatakan hingga kini dirinya masih kebingungan mencari tempat tinggal baru untuk keluarganya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia mempertanyakan bagaimana masa depan keluarganya kelak. "Pemerintah hanya memberikan kompensasi untuk rumah senilai Rp 122 juta. Sementara untuk rumah layak huni setidaknya butuh Rp 400 juta," kata Hendra saat ditemui di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jakarta, Kamis (30/7).

Bukan hanya itu, Hendra bercerita pembebasan lahan masih bermasalah hingga kini, seperti masih banyaknya warga yang mengaku belum mendapat ganti rugi atas lahannya yang digunakan untuk pembangunan waduk. (Baca juga: Penggenangan Waduk Jatigede Terancam Tertunda Lagi)

Di sisi lain, Mahmudin, warga Dusun Cilembu, Desa Pakualam mengeluhkan kehadiran aparat keamanan berpakaian preman di tengah masyarakat. Aparat keamanan itu dinilai hadir untuk mengamankan wilayah yang akan segera digenangi tersebut.

"Kami hidup dalam ketakutan setiap harinya. Bahkan ada yang sampai tertekan dan jatuh sakit," kata Mahmudin.

Ia mengaku marah akan sikap pemerintah yang seolah-olah tidak peduli dengan nasib rakyatnya. Mahmudin mengeluh karena tidak adanya jaminan masa depan bagi warga yang tersingkir.

"Kami hanya diberi uang kompensasi yang tidak seberapa, lalu kami disuruh mencari sendiri tempat tinggal kami selanjutnya," katanya. (Baca juga: Warga Bertahan di Desa yang Bakal Tenggelam oleh Jatigede)

Kepentingan industri

Waduk Jatigede berlokasi di Kabupaten Sumedang, meliputi lima kecamatan dan 28 desa, dengan penduduk lebih dari 11 ribu kepala keluarga atau 40 ribu jiwa.

1963 adalah awal perencanaan waduk ini. Kemudian, pada tahun 1982 hingga 1986, dimulai proses penggantian kerugian pertama. Penggantian kerugian kedua dilaksanakan pada tahun 1994 hingga 1997 dan tahap ketiga dilaksanakan pada tahun 2005 hingga 2012.

Pembangunan waduk ini dimulai pada tahun 2007 melalui kerja sama pemerintah Indonesia dan pemerintah Tiongkok. Pembangunan waduk dilaksanakan oleh Synohydro dan pendanaan didapatkan dari Bank Exim, keduanya adalah Badan Usaha Milik Negara Tiongkok.

Pada tahun 2014, struktur waduk telah selesai 99 persen dan pada tahun ini direncanakan penggenangan waduk. Adapun, Hendra menjelaskan luas lahan yang akan digenangi mencapai enam ribu hektar.

Rencananya, pada 1 Agustus 2015, penggenangan akan dilakukan. Namun, sampai saat ini belum ada kepastian mengingat tengah terjadi kekeringan di berbagai tempat.

Baik Hendra maupun Mahmudin ragu waduk ini nantinya akan diprioritaskan bagi kepentingan rakyat kecil. Mereka curiga waduk itu akan digunakan untuk kepentingan industri. (Baca juga: Jatigede: Cerita Panjang Persoalan Pembebasan Lahan)

Kedua pria paruh baya tersebut juga mengatakan telah menolak pembangunan waduk dari awal. Terdapatnya situs budaya, tempat makam leluhur, serta hasil panen padi yang memuaskan menjadi beberapa alasan Mahmudin dan Hendra.

Mayoritas penduduk di sekitar Waduk Jatigede memang petani. "Setahun, kami bisa panen 50 ribu ton padi dari lima kecamatan itu. Pembangunan waduk ini mengorbankan lahan sawah kami yang berarti juga mengorbankan hasil panen tersebut," kata Hendra.

"Kami melihat ada niat pemerintah membangun kawasan industri di sekitar waduk tersebut," kata Hendra.

Absennya peta sosial pembangunan

Direktur Eksekutif Walhi Abetnego Tarigan mengatakan pemerintah seolah punya penyakit lama yang tak kunjung sembuh, yaitu mengabaikan peta sosial dalam melakukan pembangunan.

Padahal, kata Abetnego, peta sosial mutlak dibutuhkan untuk memastikan pembangunan akan membawa dampak positif kepada warga di sekitarnya.

"Pemerintah harus memastikan keberlanjutan masa depan warga yang harus tersingkir. Jadi, bukan hanya memberikan kompensasi lalu selesai," katanya.

Dari catatan Walhi pada 2014, di wilayah Jatigede, terdapat 982 murid PAUD, 2.732 murid sekolah dasar (SD), 1.223 pelajar sekolah menengah pertama (SMP), 865 siswa sekolah menengah atas (SMA), dan 209 berkuliah. (Baca juga: Pemerintah Mulai Bayar Kompensasi Warga di Waduk Jatigede)

Apabila waduk ini digenangi, maka fasilitas umum yang akan ikut tergenang adalah 16 PAUD, 7 TK, 22 SD, tiga SMP, 40 masjid, 45 musala, 33 posyandu, dan 12 pondok bersalin desa.

Abetnego juga menyatakan ragu nantinya waduk itu akan diprioritaskan untuk pengairan sawah atau penyedia listrik untuk masyarakat.

"Saya pikir ini untuk kepentingan industri semata. Pemerintah cenderung menyediakan semua fasilitas dan infrastruktur bagi investor dan industri namun mengabaikan kebutuhan masyarakat," katanya.

Ia juga berpendapat proyek besar seperti pembangunan waduk kurang tepat dibangun di Jawa Barat, seperti Jatigede. Adanya situs budaya, kata Abetnego menjadi salah satu alasan kuat.

Selain itu, wilayah Jawa Barat dinilai cukup rawan bencana serta sudah terlalu padat. Pembangunan di wilayah padat penduduk, kata Abetnego, akan berpotensi menyisakan permasalahan kemanusiaan.

"Solusi yang kami sarankan adalah pemerintah segera selesaikan masalah sosial yang tersisa. Setelah itu, barulah waduk itu digenangi," katanya. (pit)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER