Riwayat Berbahaya Pasal Penghinaan Presiden

Anggi Kusumadewi, Joko Panji Sasongko | CNN Indonesia
Kamis, 06 Agu 2015 08:52 WIB
Bermula dari hukum era kolonial Belanda, diteruskan oleh pemerintah RI. Pasal ini sudah mati saat MK menghapusnya pada 2006. Namun kini hendak dihidupkan lagi.
Presiden Jokowi di Istana Bogor. (CNN Indonesia/Resty Armenia)
Ahli hukum tata negara Margarito Kamis menentang dihidupkannya kausa penghinaan presiden. Apapun alasannya, kata dia, pasal tersebut berbahaya, mengundang otoritarianisme, berpotensi mematikan demokrasi dan mengurangi akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintah.

“Pemerintahan, siapapun yang berkuasa, akan jadi pemerintahan suka-suka. Begitu menghina maka dipenjara. Kalau pemerintahan otoriter, kita tidak bisa bicara kesejahteraan rakyat,” kata dia.

Lagipula, ujar Margarito, pejabat publik yang mengemban tanggung jawab memang tak boleh tersinggung dari kritik dan hinaan publik. “Pasal penghinaan saja sudah dihilangkan dari sejarah hukum Amerika Serikat sejak 1801,” kata dia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Jadi kenapa sekarang di sini, di negara hukum demokratis, di era terbuka ketika media sosial begitu kuat menggaungkan tuntutan transparansi, kok orang mau dipenjara?” ujar Margarito.

Mantan Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara era SBY itu berpendapat pasal penghinaan presiden luar biasa berbahaya dan tak bisa ditoleransi. “Misalnya, apa yang dimaksud penghinaan? Lalu definisi menghina di muka umum itu bagaimana? Berapa orang disebut umum? Itu kan elastis. Pasal ini bisa dipakai untuk menjatuhkan lawan politik,” kata dia.

Soal definisi menghina, Yasonna telah menerangkan hal itu termaktub pada Penjelasan Pasal 263 RUU KUHP yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan ‘menghina’ adalah perbuatan apapun yang menyerang nama baik atau martabat Presiden atau Wakil Presiden di muka umum. Termasuk penghinaan adalah menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.”

Sementara soal batasan ‘umum,’ hal itu tercantum pada Pasal 136 RUU KUHP yang berbunyi, “Perkataan penghinaan dengan sengaja dalam Pasal 134 mengandung juga perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 315 (penghinaan ringan), jika itu dilakukan kalau yang dihinakan tak hadir, yaitu baik di muka umum dengan beberapa perbuatan maupun tidak di muka umum tetapi di hadapan lebih dari empat orang atau orang lain yang hadir tidak dengan kemauannya, dan yang merasa tersentuh hatinya akan itu dengan perbuatan-perbuatan atau dengan lisan atau tulisan.”

Meski menyebut pasal penghinaan presiden berbahaya, Margarito mengatakan “Kita mesti adil kepada Presiden yang saat ini memerintah.”

Menurut Margarito, setahu dia RUU KUHP telah disiapkan dari jauh hari, disusun oleh pemerintahan sebelumnya. Pemerintah Jokowi yang belum setahun berkuasa menerima RUU tersebut dalam bentuk draf yang telah tuntas untuk diserahkan ke DPR.

“Boleh jadi Jokowi teledor. Padahal dia menyatakan biasa dicaci maki dan tak pernah memenjarakan pencacinya. Maka seharusnya dalam prinsip, Jokowi tidak menghendaki pasal ini. Maka sekalian saja dia perintahkan cabut pasal ini dari RUU KUHP,” ujar Margarito.

DPR sendiri menyatakan belum tentu meloloskan pasal penghinaan presiden. Pasal tersebut, kata Ketua Komisi Hukum DPR Aziz Syamsuddin, tidak bisa dihidupkan kembali karena telah dihapus MK.

"Berdasarkan asas hukum yang berlaku, sesuatu yang sudah dibatalkan MK tidak bisa lagi dibahas atau dihidupkan kembali. Secara logika hukum itu tidak mungkin," kata politikus Golkar itu.

Ia mengatakan putusan MK bersifat final dan mengikat. Selama ini, ujar Aziz, belum pernah ada pasal yang telah dibatalkan MK lantas dibahas kembali oleh DPR bersama pemerintah. Belum juga ada kejadian MK membatalkan pasal serupa selama dua kali berturut-turut. (agk)

HALAMAN:
1 2 3 4
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER