Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, menilai keputusan MK atas Pasal 245 ayat 1 mengenai pemanggilan dan penyidikan anggota dewan harus melalui surat tertulis presiden hanya akan menambah hambatan prosedural dalam birokrasi dan menambah pekerjaan presiden.
"Saya rasa keputusan ini menambah birokrasi, saya kira upaya kami membangun integritas bernegara, integritas demokrasi, terutama pejabat negara akan mengalami sedikit hambatan,"kata Jimly, di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (23/9).
Meskipun demikian, Jimly mengatakan keputusan MK harus tetap dihormati. Walaupun dia merasa prihatin atas keputusan tersebut dengan alasan di tengah banyaknya permasalahan di Indonesia harusnya MK mengurangi hambatan di bidang birokrasi.
"Apa boleh buat kami harus hormati keputusan MK bersifat final dan mengikat. Sebagai pribadi saya sendiri merasa prihatin di tengah banyaknya kesulitan dalam memberantas korupsi, membangun pemerintahan yang baik, ada tambahan hambatan prosedural di bidang birokrasi dan tentunya menambah pekerjaan presiden," ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan Surrahman Hidayat mengaku pihaknya akan mentaati hasil putusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan pemeriksaan anggota dewan harus berdasarkan izin tertulis presiden.
Surrahman menjelaskan keputusan itu justru meringankan tugas MKD karena anggota dewan yang tersangkut kasus pidana, tidak perlu lagi mendapat izin dari pihaknya untuk diperiksa kepolisian atau penegak hukum.
Meski demikian ia enggan menyebut putusan itu memperkuat imunitas anggota dewan. Menurutnya, konsekuensi atas putusan adalah soal lain, karena baginya yang terpenting adalah taat kepada hukum dan putusan MK.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan pemberian izin untuk meminta keterangan anggota dewan yang diduga melakukan tindak pidana bukan lagi dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), melainkan dari presiden.
Pasal 245 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 yang di
judicial review, diputuskan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai persetujuan presiden.
"Pasal 245 ayat 1, selengkapnya menjadi pemanggilan dan permintaan keterangan tertulis untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden," ucap Hakim Arief Hidayat saat membaca putusan.
Padahal sebelumnya, pasal 245 ayat 1 berbunyi, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(utd)