Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Kepolisian Nasional menilai pelarangan diskusi tentang kasus pelanggaran hak asasi manusia 1965 dapat dilakukan hanya jika ada dugaan provokasi di dalamnya. Dengan demikian, instruksi larangan mestinya tak serta-merta dikeluarkan.
"Harus dilihat apa saja unsur-unsur provokasinya. Pasal provokasi itu kan sangat subjektif," kata Komisioner Kompolnas Edi Hasibuan di Jakarta.
Apabila suatu acara berpotensi melanggar pasal penghasutan alias provokasi, maka Kepolisian sah-sah saja melakukan pelarangan sesuai fungsi pencegahan yang dimiliki lembaga itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Namun memang masyarakat mungkin akan berpikir ini pengekangan kebebasan berpendapat. Itu juga harus dipertimbangkan," kata Edi.
Belakangan terjadi insiden pada acara atau penerbitan terkait kasus 1965 di berbagai daerah di Indonesia. Terakhir, seluruh sesi 1965 pada
Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2015 yang akan digelar di Bali 28 Oktober-1 November dibatalkan atas masukan dari Kepolisian dan otoritas setempat.
Sebelumnya, Tom Iljas, korban 1965, ditangkap polisi saat berziarah ke makam ayahnya di Salido, Pesisir Selatan, Sumatra Barat.
Tom yang dikirim pemerintahan Soekarno untuk belajar ke China kehilangan kewarganegaraannya dan tidak bisa kembali ke Indonesia. Kini Tom yang berkewarganegaraan Swedia kembali terusir dari Indonesia. Akibat berziarah ke makam ayahnya, dia dideportasi dan dicekal imigrasi.
Selanjutnya pada 16 Oktober, majalah kampus Lentera yang dipublikasikan pers mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga, Jawa Tengah, dilarang terbit. Majalah itu menyajikan liputan utama “Salatiga Kota Merah” yang bercerita soal pelanggaran HAM berat tahun 1965 di kota tersebut.
Tak hanya itu, sebelumnya di Banyuwangi, Jawa Timur, polisi melarang diskusi tentang lagu "Genjer-genjer."
Philips Jusario Vermonte, Ketua Departemen Politik dan Hubungan Internasional
Center for Strategic and International Studies, menyesalkan rentetan kejadian ini. Menurutnya, pada era demokrasi seperti saat ini, pemerintah tak perlu menghalangi publik mendapatkan informasi.
"Itu berlebihan. Informasi bagian dari kebebasan pendapat. (Diskusi) digelar di forum sastra dan merupakan hasil dari pemikiran. Harus diubah cara pandang terhadap sejarah,” kata Vermonte.
Apalagi, ujar Vermonte, saat ini publik sudah semakin terdidik. Internet dan kecanggihan teknologi pun mempermudah masyarakat dalam mendapatkan informasi apa pun, termasuk mengenai sejarah peristiwa 1965.
"Seharusnya pemerintah memfasilitasi dan memberikan pemahaman. Sekarang bukan eranya untuk melarang-larang apalagi menggunakan aparat keamanan," kata dia.