Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Pusat Penerangan Tentara Nasional Indonesia, Mayor Jenderal Tatang Sulaiman, mengatakan institusinya tidak akan menutup-nutupi kasus penembakan yang dilakukan anggota Intai Tempur Batalyon Intelejen Komando Stategis Cadangan Angkatan Darat, Sersan Dua YH, terhadap pengendara motor di Cibinong, Bogor, Jawa Barat.
"Kasus Cebongan yang besar saja terbuka," ujarnya kepada CNN Indonesia, Rabu (4/11).
Merujuk persidangan terhadap delapan anggota Grup II Komando Pasukan Khusus yang menembak mati empat tahanan Polda Yogyakarta di Lembaga Permasyarakatan Cebongan, Sleman, Tatang mengatakan TNI sebenarnya selalu terbuka ketika anggotanya melakukan tindak pidana.
Menurutnya, peradilan militer yang tertutup dan tidak transparan hanyalah stigma yang dilekatkan sejumlah pihak. "Sidang di pengadilan militer boleh disaksikan dan terbuka untuk umum. Sama seperti pengadilan umum," ucapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tatang menuturkan, TNI melalui Polisi Militer Angakatan Darat membutuhkan waktu untuk menyelesaikan tindak pidana yang dilakukan Serda YH. Ia berkata, kasus tersebut tidak dapat diselesaikan secepat membalikan telapak tangan.
"POM harus mengumpulkan keterangan saksi yang jumlahnya mungkin pukuhan, begitu juga barang bukti," ujarnya.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Fariz Fachriyan, menceritakan pengalamannya selama empat kali menonton sidang Kasus Cebongan. Kala itu, ia sedang menjalankan program pemantauan keterbukaan informasi yang digagas Mahkamah Agung dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan.
Fariz berkata, suasana persidangan di Pengadilan Militer II 11 Yogyakarta ketika itu sangat berbeda dengan pengadilan umum. "Intimidasi secara langsung memang tidak ada tapi persidangan dibuat tidak nyaman dengan penjagaan yang berlebihan," ucapnya.
Ia memaparkan, ketika itu setengah bangku ruang sidang diisi pria-pria berambut cepak. Sebelum memasuki ruang sidang, pengunjung harus memperlihatkan kartu tanda pengenal dan memberitahu maksud kedatangannya ke ruang sidang.
Di tempat terpisah Komandan Batalyon Intelijen Kostrad, Mayor Deni Eka, mengatakan Serda YH membawa senjata api jenis FN keluar markas karena sedang bertugas. Ia bertutur, Serda YH memegang surat perintah yang mengizinkannya menenteng senjata keluar markas.
"Ada surat perintahnya. Ada batas waktu, misalnya tiga hari. Kalau sudah selesai, senjata itu dikembalikan. Tugasnya (Serda YH) belum selesai, jadi belum dikembalikan," katanya kepada wartawan di Cibinong, siang tadi.
Deni memparkan, pada saat penembakan itu berlangsung, Serda YH sedang mengendarai mobil bersama seorang perempuan yang disebutnya sebagai informan. Namun, Deni enggan menerangkan lebih lanjut perihal operasi dan informasi yang digali dari sang informan.