Ahok Dikritik Kurang Berdialog dengan Warga Soal Penggusuran

Yohannie Linggasari | CNN Indonesia
Jumat, 13 Nov 2015 09:32 WIB
Penggusuran yang dilakukan Gubernur DKI terkadang menimbulkan kericuhan. Komnas HAM menilai Ahok kurang transparan dan berdialog dengan warga.
Warga menyaksikan penggusuran di Kampung Pulo, Jakarta, Sabtu, 22 Agustus 2015. Pemerintah DKI Jakarta menargetkan penggusuran Kampung Pulo hingga 1,8 Kilometer, dan menyiapkan Rusunawi Jatinegara Barat bagi warga yang terkena dampak dari program normalisasi sungai. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Siane Indriani mengkritik kebijakan penggusuran yang kerap diambil oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ia menilai seharusnya pemerintah daerah bisa melakukan penataan kota tanpa harus melakukan penggusuran.

“Setiap penggusuran paksa berarti ada pelanggaran HAM. Tidak boleh orang dipaksa begitu saja untuk pindah, apapun status tanahnya. Harus ada dialog. Lakukan pendekatan dan perlakukan warga sebagai manusia,” kata Siane saat ditemui di Komnas HAM, Jakarta, Kamis (12/11).
Siane merujuk pada Undang-Undang Agraria yang dinilainya sangat berpihak kepada rakyat miskin. Siane mengatakan dalam UU tersebut, diatur bahwa meski seorang warga tidak punya surat tanah atas tempat yang ia tinggali, warga bisa melakukan pendaftaran tanah tanpa harus membayar, dengan membawa saksi.

Kalaupun sampai terpaksa digusur, kata Siane, maka warga harus mendapatkan hak ganti rugi. Namun, sebelum mengambil keputusan menggusur, Siane berpendapat pemerintah seharusnya aktif mengajak warganya berdialog terlebih dulu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Mereka (warga) mau diajak berpikir. Seperti apa rumah yang diinginkan warga dan seperti apa tempat tinggal yang bisa membuat mereka terus melanjutkan kegiatan ekonomi mereka. Jadi intinya bukan gusur orang miskin, melainkan menggusur kemiskinan,” katanya.

Lebih lanjut, Siane menilai pemindahan warga ke rumah susun yang dianggap lebih modern tidak lantas membuat warga langsung sejahtera. Tak jarang, kata Siane, warga justru terpuruk karena tidak bisa melanjutkan kegiatan ekonomi yang sudah bertahun-tahun dijalani.
“Misalnya dia sudah puluhan tahun bekerja sebagai penghasil tahu. Lalu pindah ke rumah susun, bisa enggak dia melanjutkan pekerjaan itu. Apa bisa membuat tahu di rumah susun,” ujarnya.

Di sisi lain, Yunita dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengatakan penggusuran kerap kali dilakukan tanpa adanya pendataan yang jelas, seperti data soal kerugian warga, baik secara sosial maupun materiil. Koordinasi antara kepala daerah setempat pun dinilai sangat kacau.

“Kadang-kadang pemerintah juga tidak bisa jawab jumlah keseluruhan warga yang harus digusur dan yang terdampak penggusuran. Pemerintah juga belum bisa menghitung kerugian yang dialami warga,” katanya.
Yunita mengatakan sering kali warga juga tidak diberikan informasi memadai soal penggusuran, seperti luas daerah tergusur atau alasan mereka harus digusur. Artinya, kata dia, tidak ada pelibatan warga.

“Lalu pertanyaannya, mungkinkah pemerintah menata kota tanpa harus ada penggusuran. Saya pikir mungkin saja, asal ada kemauan politik yang kuat dari pemerintah,” katanya.

Penggusuran yang dilakukan oleh Ahok menimbulkan kontroversi karena beberapa di antaranya terjadi kericuhan. Salah satunya yang terjadi di Kampung Pulo, Jakarta Timur. Saat penggusuran dilakukan, bentrok antara warga Kampung Pulo dan petugas Satuan Polisi Pamong Praja terjadi.

Alat berat atau backhoe yang digunakan untuk menggusur warung dan tempat tinggal warga lantas dibakar oleh warga. Sebagian warga juga melempari petugas dengan batu yang berujung dengan penembakkan gas air mata. (utd)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER