Jakarta, CNN Indonesia -- Sejak Januari 2007, Maria Katarina Sumarsih menyempatkan satu hari dalam setiap pekan untuk berdiri di hadapan Istana Merdeka. Dari total 420 aksi diam itu, Sumarsih menyebut ketidakhadiran dirinya sekitar 20 kali.
Namun aksi tiap Kamis masih berlangsung. Tak bermaksud melawan takdir, hanya saja Sumarsih menolak rasa penasaran terus dipasung.
Sebelum aksi ke-420, Sumarsih mengurai awal kisah dia bersama Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) mencari penjelasan negara. Kepada jurnalis CNN Indonesia, Prima Gumilang, wanita kelahiran Semarang 28 Desember 1950 ini menceritakan ihwal gerakan yang kini akhirnya menjadi agenda rutin di pusat Ibu Kota.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimana ide awal menggagas Kamisan?Dari awal 2003, saya sudah mengajak ibunya Yun Hap korban Semanggi II dan ibunya Sigit. Kami ngobrol. Idenya beragam mulai dari mengelilingi Bundaran HI tanpa bicara, membawa selembar kertas. Mereka mau. Lama-lama ibunya Yun Hap sakitnya macam-macam. Ibunya Sigit juga begitu. Akhirnya enggak jadi-jadi. Itu belum pernah terwujud.
Tahun 2005, kami mendirikan paguyuban korban namanya JSKK, setelah saya menerima penghargaan Yap Tiam Hien Award. Romo Sandiawan mengumumkan bahwa saat ini telah berdiri organisasi korban bernama Swabela.
Kegiatannya sosialisasi ke sekolah, mengunjungi korban bom, mengunjungi Pak Harto (Presiden kedua RI Soeharto) sakit. Lucu waktu itu, bawa bunga yang ditulisi kasus kasus. Saya dan Mbak Suci (Suciwati, istri mendiang Munir Said Thalib) sempat menulis di buku tamu, bunyinya “Semoga lekas sembuh, pengadilan menunggu Pak Harto”.
Saya juga pernah mengajak bikin kegiatan rutin, kayak aktivis 99, ada aksi damai di Bundaran HI tapi akhirnya dilarang polisi, dituduh ditunggangi Gerwani. Ada konvoi motor Munir tiap Selasa. Waktu itu yang datang pertemuan, selain JSKK, ada Jaringan Relawan Kemanusiaan dan Kontras. Akhirnya menentukan hari, maskot, dan tempat. Jadilah itu Kamisan. 18 Januari 2007.
Soal maskot payung, apa pesan yang ingin disampaikan?Itu Mbak Suci, maskotnya payung. Warna hitam. Bagi kami, hitam itu lambang keteguhan. Jadi duka cita kami sudah bertransformasi ke cinta kasih kepada korban, dan cinta kasih bertransformasi kepada perjuangan untuk meningkatkan hak asasi manusia. Payung itu perlindungan.
Mengapa memilih hari Kamis?Senin itu banyak kerjaan, Selasa ada konvoi Munir, Rabu ada yang kuliah, Kamis diam, dan Jumat hari pendek. Sabtu-Minggu libur. Akhirnya Kamis. Soal jam, pagi mengganggu absen, siang nanti enggak balik kantor, akhirnya sore.
Awalnya berapa orang yang ikut aksi?Sekitar 30 orang.
Aksi Kamis selalu diwarnai dengan mengirim surat kepada Presiden, siapa yang membuat surat?Kamisan itu jam 16.50 kami bikin lingkaran, lalu ada satu orang yang memimpin refleksi. Biasanya anak-anak yang baru pertama kali datang. Refleksi ditutup doa. Sebelum doa, diumumkan, Kamis depan siapa yang akan menulis surat kepada presiden. Tema ditambah hal-hal yang aktual seminggu ke depan. Surat yang sudah dibuat, dikirim ke saya, bapaknya Wawan, Mbak Suci, Pak Bejo Untung, Yati Andiani Kontras, LBH Jakarta, Kontras, supaya diedit. Rabu biasanya sudah final. Ini benar-benar kerja bareng, didukung anak muda.
Doa apa yang Ibu panjatkan saat Kamisan?Kamisan selalu ditutup dengan doa. Saya selalu berdoa dalam hati, jadikanlah aksi Kamisan ini menjadi alat bagiMu untuk mewartakan kebenaran dan keadilan. Saya tidak pernah memikirkan siapa yang menembak Wawan. Tidak pernah mikirin hukum harus ditegakan.
Selama delapan tahun ini, paling sedikit berapa orang yang ikut aksi?Selama hampir sembilan tahun, jumlah delapan orang itu dua kali. Itu bulan Desember menjelang Natal dan Tahun baru. Itu paling sedikit. Kami kapan mau bubar? Kalau tinggal tiga orang. Siapa saja? Saya, Mbak Suci, dan Yati Kontras.
Dulu waktu evaluasi, ada anak muda yang bertanya program jangka panjang, jangka pendek. Kami enggak pernah mikirin program, yang penting kami adakan kegiatan saja, ringan tapi bisa bertahan terus. Lama-lama ada orang yang mau mengajari manajemen demo. Tapi itu belum pernah, karena orangnya enggak muncul lagi.
Pernah diusir ketika melakukan aksi Kamisan?Kami sudah berkali-kali diusir. Kalau ada tamu negara disuruh minggir; pernah dorong-dorongan sampai banyak payung patah; ada presiden lewat disuruh minggir dulu. Waktu mau 17 Agustus, pas hari Kamis, juga enggak boleh. Pernah dulu sudah bawa tumpeng pelanggaran HAM, hiasannya kasus-kasus pelanggaran. Ada yang bawa pepes, ayam goreng, masak bareng. Ingin memperingati 17an, itu 2009.
Sebelumnya ditelpon dari Polda enggak boleh Kamisan, karena di sekitar Istana sudah steril. Kalau tetap nekat aksi, kepolisian tidak bertanggungjawab atas keselamatan ibu. Aksi berlangsung setengah jam, disuruh pergi. Lalu kami pulang, tapi saya nangis. Rasanya kayak diusir benar-benar.
Baru pertama itu. Kamisan yang berjalan setengah jam itu dua kali. Yang satu lagi, hujan besar, petir, angin, daripada kita sakit, kita berhenti. Refleksinya di bawah pohon. Walaupun hujan angin, tetap aksi. Kita pakai payung.
(Baca:
Poliri Larang Aksi Kamisan Mulai Hari Ini)
Ibu aktif berorganisasi sejak dulu?Enggak. Saya pegawai DPR yang lebih mengutamakan masa depan anak. Kalau karier ada kesempatan, tapi yang berkarier suami. Saya mengurusi anak. Saya mencari sekolah yang bagus. Saya ditempatkan di Fraksi, kalau lagi reses, enggak ngantor, jemput anak-anak.
Kalau pekerjaan bisa dikerjakan di rumah, saya pulang. Begitu wawan enggak ada, sunyi. Saya kerjaannya nangis, baca kitab suci. Bapaknya Wawan kerjaannya baca. Irma kalau sudah selesai belajar, nonton televisi. Penembakan wawan itu tidak bisa dielak. Harus kita terima. Dan untuk menerima itu juga perlu proses.
Ibu pernah absen Kamisan?Kelihatannya saya enggak datang Kamisan itu 20 kali. Saya sempat secara resmi bilang, saya mau berhenti. Waktu itu pemilihan presiden 9 Juli hari Rabu. Kamis, tanggal 10. Saya yang minta refleksi Kamisan. Saya bilang, hari ini menurut
Quick Count Jokowi yang menang.
(Baca:
Sempat Adu Otot dengan Polisi, Aksi Kamisan Tetap Berjalan)
Dari visi, misi, dan program aksi, saya menaruh harapan dengan Jokowi-JK. Oleh karena itu saya akan tidak selalu datang di Kamisan. Atau mungkin saya akan berhenti Kamisan. Akhirnya menyebar. Ada juga anak-anak 98 yang datang ke sini. Ada diskusi kecil. Perjuangan belum selesai, kita jangan terlalu menaruh harapan yang besar kepada Jokowi. Akhirnya saya datang lagi ke Kamisan.
Apa janji Jokowi yang membuat Ibu sangat menaruh harapan?Visi, misi, dan program aksinya itu, di butir FF bunyinya, kami berkomitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu karena masih menjadi beban politik bangsa, seperti kasus kerusuhan Mei 98, Trisakti Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa, Talang Sari Lampung, Penembakan Misterius, Tanjung Priuk, Tragedi 1965.
Butir GG bunyinya, kami berkomitmen menghapus imunitas dalam sistem hukum nasional dan seterusnya. Ini menjanjikan sekali. Ngapain saya ngadain aksi Kamisan. Tapi itu ternyata enggak. Benar, enggak. Padahal visi misi sudah jelas tertulis seperti itu, yang membuat saya akan berhenti Kamisan.
Pada saat pidato presiden di Yogyakarta pada Hari HAM, Jokowi bilang, “Kami akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu secara yudisial dan non yudisial.” Tapi pada pidato 14 Agustus di depan DPR, Jokowi ngomongnya, “Kami menginginkan rekonsiliasi nasional.”
Kalau presiden mau menyelesaikan secara rekonsiliasi nasional, sama saja mengabaikan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Di sana diatur kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum undang-undang ini disahkan, diselesaikan melalui pengadilan HAM adhoc.
Mekanismenya, Komnas HAM melakukan penyelidikan, Kejaksaan Agung menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM ke tingkat penyidikan. Kalau terbukti terjadi pelanggaran HAM berat, maka DPR menerbitkan surat rekomendasi kepada presiden untuk menerbitkan Keputusan Presiden pembentukan pengadilan HAM adhoc. Waktu itu berkas penyelidikan Komnas HAM untuk kasus-kasus itu dipingpong. Komnas HAM diserahkan ke Kejagung, Kejagung diserahkan ke Komnas HAM.
Jadi ibu menolak rekonsiliasi nasional?
Saya tidak menolak rekonsiliasi. Tetapi mekanisme yang diatur dalam UU Nomor 26 tahun 2000 itu dilaksanakan. Apalagi didukung dengan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU tahun 2008 yang menyatakan, terjadi atau tidak terjadi pelanggaran HAM berat ditentukan oleh Komnas HAM sebagai lembaga penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai lembaga penyidik. Itu dilaksanakan dulu. Kejaksaan Agung jangan menghindar, mengelak, mengabaikan! Tindaklanjuti dulu.
Dalam UU itu juga ada pasal yang berbunyi, tidak tertutup kemungkinan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu diselesaikan melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR).
Selama 419 kali mengirim surat kepada Presiden, pernah ada balasan atau tanggapan?
Tahun 2008, kami pernah diterima sama Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden kelima dan keenam). Ada beberapa surat yang diteruskan ke lembaga-lembaga terkait. Ada yang Jaksa Agung, Jampidsus, Sekretaris Mahkamah Agung, Menko Polhukam, Kementerian Hukum dan HAM, Dirjen Tenaga Kerja. Karena aksi kami tidak hanya soal kasus HAM, tapi juga kasus lain.
Dulu, Nazaruddin (tahanan KPK sekaligus mantan Bendahara Umum Partai Demokrat) bikin surat ke presiden langsung ditanggapi. Sementara kami yang aksi Kamisan, enggak pernah dapat tanggapan dari presiden.
Bagaimana pada masa Presiden Jokowi?
Apalagi Jokowi yang blusukan ke mana-mana. Kami belum pernah dipanggil. Kami sudah pernah minta permohonan audiensi. Surat ada yang ditanggapi, diteruskan ke Sekjen Kemenkumham, kemudian diterima oleh Dirjen HAM. Akhirnya kami ke sana.
Bagaimana Ibu memandang pelaksanaan janji dua presiden selama Kamisan?Semua presiden berjanji untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. SBY sempat membuat Tim Penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat masa lalu. Sampai SBY habis masa periodenya enggak ada perkembangan. Pak Jokowi komitmennya belum ada setahun sudah berubah. Butir empat Nawacita, mau menegakan hukum supaya bermartabat dan terpercaya. Tapi sudah rekonsiliasi nasional. Tanpa UU KKR, rekonsiliasi sama saja abai terhadap penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Sama saja jadi komoditas politik lagi.
Ibu pernah merasa lelah dengan aksi Kamisan?Lelah sih iya. Sering. Tetapi kemudian cinta saya kepada Wawan itu yang selalu menyemangati. Dari awal, kami serumah itu tahu yang dilakukan masing-masing anggota keluarga. Di meja makan, kalau makan malam selalu bareng. Obrolan dari soal reformasi sampai soal besok masak apa.
Kami serumah tahu enam agenda reformasi. Saya juga melarang Wawan untuk demo. Wawan mengadakan ruang dialog, seminar, diskusi publik, sarasehan supaya tindak penembakan seperti di Trisakti. Setelah Wawan meninggal, April 1999 saya ingin mewujudkan agenda reformasi yang diperjuangkan oleh Wawan dan kawan-kawannya, yang sampai saat itu belum terwujud dan sampai sekarang.
Apa yang membuat ibu tetap konsisten hingga sekarang?Semangat cinta saya kepada Wawan yang menyemangati langkah saya. Lelah, kadang juga pesimis. Sampai kapan? Idealnya sampai enggak ada pelanggaran HAM lagi. Sekarang, Jokowi kita kawal saja. Enam kasus itu benar enggak mau diselesaikan dengan cara menghapus imunitas. Kalau kasus-kasus itu diselesaikan dengan jujur, terbuka, transparan, Kamisan selesai.