Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Kantor Staf Presiden Teten Masduki mengungkapkan, Presiden Joko Widodo ingin menambah jumlah penyidik independen Komisi Pemberantasan Korupsi agar bisa bekerja sebaik lembaga antirasuah Pemerintah Hong Kong.
Teten bercerita, sebelumnya ia telah mendengar bahwa Presiden menginginkan kapasitas lembaga KPK diperkuat, salah satunya dengan memperbanyak jumlah penyidik.
"Segala kelembagaan KPK itu harus besar. Suksesnya KPK Hong Kong itu bisa dilihat dari perbandingan jumlah pegawai negeri dengan penyidiknya. Itu indeksnya kira-kira 1 banding 200," ujar Teten di Jakarta.
Sementara di Indonesia, ujar Teten, KPK hanya memiliki jumlah penyidik yang terbatas, sehingga upaya pemberantasan korupsi kurang maksimal. Padahal, kenyataannya kasus korupsi makin banyak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau KPK di Indonesia misalnya penyidik cuma 100 orang, pegawai negerinya hampir 5 juta orang. Praktik korupsinya meluas, jadi enggak mungkin KPK kapasitas yang kecil semacam itu bisa memuaskan harapan masyakarat," katanya.
Selain menambah penyidik, ujar Teten, Pemerintah Hong Kong juga menguatkan anggaran komisi antirasuahnya.
"Selain itu juga ada indeks dari anggaran. Berapa yang diberikan ke KPK Hong Kong, saya lupa angkanya, tapi itu salah satu yang harus dilihat sebagai bagian dari penguatan KPK," katanya.
Teten menuturkan, Presiden pernah menyampaikan komitmennya dalam kampanye pilpres tahun lalu bahwa KPK harus dikuatkan kelembagaannya, salah satunya penyidik.
"Sebaiknya memang independen. Sudah waktunya memang KPK memiliki penyidiknya sendiri. Bahwa itu nanti melibatkan mantan polisi, mantan jaksa, tidak masalah kalau sudah di KPK itu sudah dikatakan itu penyidik KPK," ujarnya.
Lebih jauh, Teten menjelaskan bahwa Presiden menganggap usulan revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang KPK dilakukan untuk memperkuat lembaga tersebut, alih-alih memperlemah.
"Sehingga bisa saja nanti Presiden kalau memang ternyata revisinya memperlemah, Presiden punya kekuasaan untuk tidak melanjutkan. Amanat Presiden bisa saja tidak dikeluarkan. Saya kira harus dipahami teman-teman di DPR," katanya.
(utd)