Jakarta, CNN Indonesia -- Robert “Bob” F Kennedy, Jaksa Agung Amerika Serikat periode Januari 1961-September 1964, datang ke Istana Merdeka, Jakarta, pada Januari 1964. Saat itu, Kennedy diutus sang kakak yang menjabat Presiden AS John F Kennedy, untuk menyampaikan pesan khusus kepada Presiden Soekarno.
Pesan yang disampaikan lewat surat tersebut berisi tawaran AS memberi bantuan untuk menengahi perundingan dengan Belanda menuju pengalihan kekuasaan Irian Barat kepada Indonesia. Dalam surat itu, Presiden Kennedy meminta Indonesia untuk tidak menggunakan kekerasan militer dan tidak menggunakan senjata dari Uni Soviet.
Isi surat Kennedy menjadi
headline di surat kabar Sinar Harapan (SH) dan The New York Times (NYT). Aristides Katoppo, jurnalis SH saat itulah yang mendapatkan isi surat tersebut secara eksklusif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Semua media internasional mengutip pemberitaan New York Times. Ada rombongan wartawan yang dibawa Bob dari AS tetapi tidak berhasil dapat surat itu,” kata Tides, sapaan Aristides.
Atas pemberitaan eksklusif itu, Tides yang bekerja untuk SH sejak awal suratkabar itu terbit mendapat bonus US$500 dari NYT, media asing tempat dia menjadi
stringer. “US$500 waktu itu seharga satu unit mobil VW. Saya langsung beli sepeda motor,” tutur Tides kepada CNN Indonesia, 29 Desember lalu.
Beberapa waktu kemudian dalam acara Konferensi Asia Afrika di Jakarta, Tides kembali mendapat informasi eksklusif. KAA saat itu merundingkan permintaan Malaysia dan Uni Soviet untuk masuk dalam keanggotaan. Namun karena malam sudah larut, panitia membubarkan KAA untuk dilanjutkan kembali esok pagi.
Para jurnalis pulang, termasuk Tides. Tapi beruntung, Tides yang sudah memiliki sepeda motor berjanji untuk membonceng pulang seorang kenalan yang menjadi penerjemah untuk Sekretariat KAA. “Peserta Konferensi yang sudah pulang, kembali lagi, perundingan dilanjutkan. Malam itu juga disepakati bahwa tidak dicapai kesepakatan. Saya dapat sendiri beritanya,” ujar pria asal Sulawesi Utara ini.
Artikel itu menjadi
headline di SH dengan
angle “Permintaan Keanggotaan Malaysia dan Uni Soviet Ditolak.”
Tapi sayang, mulai besok, 1 Januari 2016, publik tidak akan lagi bisa menikmati cetakan karya jurnalistik khas Sinar Harapan. Surat kabar yang terbit perdana 27 April 1961 ini terpaksa tutup usia setelah kehilangan pengiklan dan tak bisa mencari investor baru. “Saya termasuk yang menyayangkan dan sedih karena tidak lagi terbit sebagai koran sore yang dicetak,” kata Tides.
Bagi Tides, Sinar Harapan adalah tempat dia berkarya dan belajar. Tapi dia juga mengakui bahwa perkembangan industri media dan perubahan kebutuhan informasi publik tidak bisa dicegah. Apalagi, era digital perlahan tapi pasti telah menggantikan ketergantungan masyarakat dari surat kabar menjadi media dalam jaringan (daring) yang perkembangannya kiat pesat.
“Media sekarang dikuasai oleh internet dan digital. Yang penting juga pembaca. Saya kira, cucu-cucu saya sudah tidak terbiasa membaca koran, mereka membaca di
smartphone,” ujarnya.
Sinar Harapan berdiri saat sistem politik Demokrasi Terpimpin era Soekarno sedang pasang. Hal itu ditandai dengan larangan atas keberadaan Partai Masyumi yang berbasis Islam dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) lantaran dianggap kurang mendukung kebijakan Bung Karno.
Media massa yang ingin terbit harus terikat dengan konsensus untuk mendukung perjuangan Irian Barat bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Media yang tak setuju dengan konsensus tersebut, pasti diberangus.
Di era itu, politik dianggap sebagai panglima dan bahkan berada di atas hukum sekalipun. “Sinar Harapan terbit justru supaya jangan segala hal disoroti dari sisi politik saja,” kata Tides.
Sebuah koran sore, Pos Indonesia, yang tutup menjelang SH terbit, dimanfaatkan surat kabar bermotto “Memperjuangkan Kebenaran, Keadilan, Perdamaian, dan Kemerdekaan berdasarkan Kasih” itu untuk menggunakan percetakannya. Kantor SH terdiri dari empat meja yaitu dua meja untuk redaksi, satu meja untuk iklan, dan satu meja lainnya untuk tata usaha.
“Saya meliput berita politik di Istana Kepresidenan, Parlemen, Departemen Luar Negeri di Pejambon, dan militer. Tetapi semua isu harus kami kuasai karena jumlah reporter waktu itu enggak lebih dari 10 orang,” ujar Tides, yang memulai karier sebagai pewarta pada akhir tahun 1957.
Dalam sistem politik Demokrasi Terpimpin, jelas sekali Tides merasakan bahwa pers pun dipimpin penguasa. “Yang menentang dibredel,” katanya.
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) membawa dampak buruk bagi pers. Dua hari setelah insiden berdarah itu, semua koran termasuk Sinar Harapan, dibredel agar tidak mengekspos secara bebas peristiwa yang hingga kini masih menjadi kontroversi.
Koran yang dipimpin oleh HG Rorimpandey ini kembali dibolehkan terbit pada 8 Oktober 1965. Namun penerbitan media terus dipantau. Artikel yang menyinggung penguasa akan berdampak pada ancaman penghentian terbit koran.
Sinar Harapan menghadapi kegentingan itu ketika tahun 1970-an pemerintah Orde Baru di bawah kekuasaan Presiden Soeharto menyoroti artikel Tides tentang laporan Komisi IV mengenai korupsi di Pertamina. Tides dianggap melanggar aturan embargo.
Pada waktu-waktu selanjutnya, Sinar Harapan kembali disorot penguasa. Kala itu, SH menyinggung proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang diprakarsai Tien Soeharto.
“Padahal waktu itu tidak ada pernyataan embargo, tidak ada juga ketentuan bahwa ada hold for release. Pada waktu itu saya menulis bahwa tidak semua hasil minyak masuk ke bujet negara, pengeluaran terbesar untuk militer dan Pak Harto,” tutur Tides.
Pemberitaan itu membuat panas telinga penguasa. Konsekuensinya, Sinar Harapan diperintahkan untuk ditutup. “Kalau SH masih mau terbit, boleh tapi tanpa saya. Waktu itu saya sudah Managing Editor,” ujar suami dari Sasmiyarsi Sasmoyo ini.
Tides lantas diberangkatkan ke Amerika Serikat untuk sekolah. Sementara SH kembali mengantongi Surat Izin Cetak, Tides melanjutkan studi di Stanford University dan Harvard University selama dua tahun dan kembali tahun 1975. Tiba di Jakarta, dia mendapat informasi dari sumbernya bahwa pengasingan dia ke luar negeri adalah untuk dua hal.
“Pertama, untuk menyelamatkan SH agar bisa terbit lagi. Kedua, untuk menyelamatkan saya karena perintahnya untuk saya, ‘kill’, ‘matikan’,” tutur Tides.
Pembredelan kembali terjadi tahun 1974 terkait peristiwa 15 Januari (Malari), disusul tahun 1978, dan tahun 1986. Yang terakhir ini adalah yang paling telak karena Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUPP) Sinar Harapan dibatalkan Soeharto setelah memuat headline “Pemerintah Akan Cabut 44 SK Tata Niaga Bidang Impor”.
Sejak saat itu, Sinar Harapan tidak lagi terbit hingga keran kebebasan pers dibuka lewat keberadan Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999 di era Presiden Baharuddin Jusuf Habibie. Setelah tahun 1986, SH kembali terbit pada 2 Juli 2001.
Menjadi jurnalis di era Demokrasi Terpimpin maupun Orde Baru membuat ancaman merupakan hal biasa yang dihadapi. Menurut Tides, sudah terlalu sering dan terlalu banyak jenis ancaman yang dia terima.
Tapi dia tidak gentar. Artikelnya terus menyoroti tingkah polah penguasa dan menjadi pengontrol utama kebijakan pemerintah. Sinar Harapan juga tak jera mendapat tekanan dengan terus menerus mencetak artikel yang mengkritisi penguasa.
Tides bercerita, dia pernah diciduk dan dibawa ke suatu tempat. Para penculiknya menginterogasi berjam-jam mengonfirmasi sejumlah artikel yang dia tulis. Tak jarang, dia dipaksa untuk mengungkapkan, siapa sumber informasi atas pemberitaan yang membuat geger kabinet.
“Saat saya diculik, mereka sering sekali mengatakan, ‘Ini bukan pro justicia, ini operasi intel, jadi hukum tidak berlaku di sini.’ Tapi saya tidak takut,” katanya.
Namun keberanian Tides menjadi ciut ketika para penculik itu mengancam untuk mencelakai anak-anaknya yang saat itu masih kecil. Mereka menyebut seorang korban kecelakaan yang tewas tertabrak truk beberapa waktu sebelumnya.
“Katanya, itu mereka yang melakukan, dan mereka bisa melakukan hal yang sama terhadap anak-anak saya. Itu yang terus terang membuat saya terganggu,” tuturnya.
Tides bertutur, sang ibu mengajarkan dia untuk hanya takut kepada Tuhan. Dia juga diajarkan untuk siap menanggung segala konsekuensi atas tindakan dan perbuatannya sendiri. “Saya siap kalau saya yang kena. Tapi kalau anak-anak saya, saya terguncang,” kisahnya.
Tahun 1986 merupakan puncak kejayaan Sinar Harapan kala itu, sebelum kembali terbit tahun 2001. Akibat artikel yang berani mengganggu dan membuat marah penguasa, Sinar Harapan menghadapi konsekuensinya: dibredel.
Menurut Tides, Soeharto memang ingin melenyapkan Sinar Harapan. Beberapa kali usaha untuk menggoyang keteguhan hati para punggawa SH, termasuk dirinya, gagal dilakukan Orde Baru. “Pokoknya yang namanya SH itu harus dihilangkan, dilenyapkan. Itu memang yang diinginkan,” kata Tides.
Pada suatu waktu tahun 1978, seorang utusan khusus Soeharto mendatangi Tides. Dia ditawari untuk menjadi pemimpin redaksi sebuah media cetak.
Sejumlah pertanyaan kritis diajukan Tides kepada sang utusan: Apakah saya boleh memberitakan semua isu dengan bebas? Apakah boleh memilih susunan redaksi sendiri tanpa dicampuri? Bolehkah memberitakan semua hal tentang menteri, pejabat eselon, termasuk militer?
Atas semua pertanyaan itu, sang utusan menjawab boleh. Namun hal itu tidak berlaku jika ada artikel yang memuat berita negatif mengenai Presiden Soeharto dan keluarganya. Sang utusan mengatakan, tidak melarang artikel yang mengkritik Presiden, namun sebelum dicetak harus diperlihatkan dulu kepada Presiden.
“Jadi kalau ada salah pengertian atau kurang pengertian terkait isu tertentu, Pak Harto langsung ingin menjelaskan duduk perkaranya. Mereka juga bilang, jadi Anda bisa langsung diundang bertemu Presiden. Itu godaannya luar biasa. Tapi saya tolak,” ujarnya.