Terang-Redup Jalan Aristides Katoppo di Sinar Harapan

Rosmiyati Dewi Kandi | CNN Indonesia
Kamis, 31 Des 2015 17:22 WIB
Mulai 1 Januari 2016, publik tidak akan lagi bisa menikmati cetakan karya jurnalistik khas Sinar Harapan. Ini kisah Aristides Katoppo dan Sinar Harapan.
Ilustrasi koran. (Thinkstock/Brian Jackson)
Jakarta, CNN Indonesia -- Robert “Bob” F Kennedy, Jaksa Agung Amerika Serikat periode Januari 1961-September 1964, datang ke Istana Merdeka, Jakarta, pada Januari 1964. Saat itu, Kennedy diutus sang kakak yang menjabat Presiden AS John F Kennedy, untuk menyampaikan pesan khusus kepada Presiden Soekarno.

Pesan yang disampaikan lewat surat tersebut berisi tawaran AS memberi bantuan untuk menengahi perundingan dengan Belanda menuju pengalihan kekuasaan Irian Barat kepada Indonesia. Dalam surat itu, Presiden Kennedy meminta Indonesia untuk tidak menggunakan kekerasan militer dan tidak menggunakan senjata dari Uni Soviet.

Isi surat Kennedy menjadi headline di surat kabar Sinar Harapan (SH) dan The New York Times (NYT). Aristides Katoppo, jurnalis SH saat itulah yang mendapatkan isi surat tersebut secara eksklusif.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Semua media internasional mengutip pemberitaan New York Times. Ada rombongan wartawan yang dibawa Bob dari AS tetapi tidak berhasil dapat surat itu,” kata Tides, sapaan Aristides.

Atas pemberitaan eksklusif itu, Tides yang bekerja untuk SH sejak awal suratkabar itu terbit mendapat bonus US$500 dari NYT, media asing tempat dia menjadi stringer. “US$500 waktu itu seharga satu unit mobil VW. Saya langsung beli sepeda motor,” tutur Tides kepada CNN Indonesia, 29 Desember lalu.

Beberapa waktu kemudian dalam acara Konferensi Asia Afrika di Jakarta, Tides kembali mendapat informasi eksklusif. KAA saat itu merundingkan permintaan Malaysia dan Uni Soviet untuk masuk dalam keanggotaan. Namun karena malam sudah larut, panitia membubarkan KAA untuk dilanjutkan kembali esok pagi.

Para jurnalis pulang, termasuk Tides. Tapi beruntung, Tides yang sudah memiliki sepeda motor berjanji untuk membonceng pulang seorang kenalan yang menjadi penerjemah untuk Sekretariat KAA. “Peserta Konferensi yang sudah pulang, kembali lagi, perundingan dilanjutkan. Malam itu juga disepakati bahwa tidak dicapai kesepakatan. Saya dapat sendiri beritanya,” ujar pria asal Sulawesi Utara ini.

Artikel itu menjadi headline di SH dengan angle “Permintaan Keanggotaan Malaysia dan Uni Soviet Ditolak.”

Tapi sayang, mulai besok, 1 Januari 2016, publik tidak akan lagi bisa menikmati cetakan karya jurnalistik khas Sinar Harapan. Surat kabar yang terbit perdana 27 April 1961 ini terpaksa tutup usia setelah kehilangan pengiklan dan tak bisa mencari investor baru. “Saya termasuk yang menyayangkan dan sedih karena tidak lagi terbit sebagai koran sore yang dicetak,” kata Tides.

Bagi Tides, Sinar Harapan adalah tempat dia berkarya dan belajar. Tapi dia juga mengakui bahwa perkembangan industri media dan perubahan kebutuhan informasi publik tidak bisa dicegah. Apalagi, era digital perlahan tapi pasti telah menggantikan ketergantungan masyarakat dari surat kabar menjadi media dalam jaringan (daring) yang perkembangannya kiat pesat.

“Media sekarang dikuasai oleh internet dan digital. Yang penting juga pembaca. Saya kira, cucu-cucu saya sudah tidak terbiasa membaca koran, mereka membaca di smartphone,” ujarnya.

Berdiri di Era Demokrasi Terpimpin

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3 4 5
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER