Tahun 1986 merupakan puncak kejayaan Sinar Harapan kala itu, sebelum kembali terbit tahun 2001. Akibat artikel yang berani mengganggu dan membuat marah penguasa, Sinar Harapan menghadapi konsekuensinya: dibredel.
Menurut Tides, Soeharto memang ingin melenyapkan Sinar Harapan. Beberapa kali usaha untuk menggoyang keteguhan hati para punggawa SH, termasuk dirinya, gagal dilakukan Orde Baru. “Pokoknya yang namanya SH itu harus dihilangkan, dilenyapkan. Itu memang yang diinginkan,” kata Tides.
Pada suatu waktu tahun 1978, seorang utusan khusus Soeharto mendatangi Tides. Dia ditawari untuk menjadi pemimpin redaksi sebuah media cetak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejumlah pertanyaan kritis diajukan Tides kepada sang utusan: Apakah saya boleh memberitakan semua isu dengan bebas? Apakah boleh memilih susunan redaksi sendiri tanpa dicampuri? Bolehkah memberitakan semua hal tentang menteri, pejabat eselon, termasuk militer?
Atas semua pertanyaan itu, sang utusan menjawab boleh. Namun hal itu tidak berlaku jika ada artikel yang memuat berita negatif mengenai Presiden Soeharto dan keluarganya. Sang utusan mengatakan, tidak melarang artikel yang mengkritik Presiden, namun sebelum dicetak harus diperlihatkan dulu kepada Presiden.
“Jadi kalau ada salah pengertian atau kurang pengertian terkait isu tertentu, Pak Harto langsung ingin menjelaskan duduk perkaranya. Mereka juga bilang, jadi Anda bisa langsung diundang bertemu Presiden. Itu godaannya luar biasa. Tapi saya tolak,” ujarnya.
(rdk)