Terang-Redup Jalan Aristides Katoppo di Sinar Harapan

Rosmiyati Dewi Kandi | CNN Indonesia
Kamis, 31 Des 2015 17:22 WIB
Mulai 1 Januari 2016, publik tidak akan lagi bisa menikmati cetakan karya jurnalistik khas Sinar Harapan. Ini kisah Aristides Katoppo dan Sinar Harapan.
Ilustrasi. (dhester/morgueFile)

Sinar Harapan berdiri saat sistem politik Demokrasi Terpimpin era Soekarno sedang pasang. Hal itu ditandai dengan larangan atas keberadaan Partai Masyumi yang berbasis Islam dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) lantaran dianggap kurang mendukung kebijakan Bung Karno.

Media massa yang ingin terbit harus terikat dengan konsensus untuk mendukung perjuangan Irian Barat bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Media yang tak setuju dengan konsensus tersebut, pasti diberangus.

Di era itu, politik dianggap sebagai panglima dan bahkan berada di atas hukum sekalipun. “Sinar Harapan terbit justru supaya jangan segala hal disoroti dari sisi politik saja,” kata Tides.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebuah koran sore, Pos Indonesia, yang tutup menjelang SH terbit, dimanfaatkan surat kabar bermotto “Memperjuangkan Kebenaran, Keadilan, Perdamaian, dan Kemerdekaan berdasarkan Kasih” itu untuk menggunakan percetakannya. Kantor SH terdiri dari empat meja yaitu dua meja untuk redaksi, satu meja untuk iklan, dan satu meja lainnya untuk tata usaha.

“Saya meliput berita politik di Istana Kepresidenan, Parlemen, Departemen Luar Negeri di Pejambon, dan militer. Tetapi semua isu harus kami kuasai karena jumlah reporter waktu itu enggak lebih dari 10 orang,” ujar Tides, yang memulai karier sebagai pewarta pada akhir tahun 1957.

Dalam sistem politik Demokrasi Terpimpin, jelas sekali Tides merasakan bahwa pers pun dipimpin penguasa. “Yang menentang dibredel,” katanya.

Berkali-kali Dibredel Penguasa

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3 4 5
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER