Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) membawa dampak buruk bagi pers. Dua hari setelah insiden berdarah itu, semua koran termasuk Sinar Harapan, dibredel agar tidak mengekspos secara bebas peristiwa yang hingga kini masih menjadi kontroversi.
Koran yang dipimpin oleh HG Rorimpandey ini kembali dibolehkan terbit pada 8 Oktober 1965. Namun penerbitan media terus dipantau. Artikel yang menyinggung penguasa akan berdampak pada ancaman penghentian terbit koran.
Sinar Harapan menghadapi kegentingan itu ketika tahun 1970-an pemerintah Orde Baru di bawah kekuasaan Presiden Soeharto menyoroti artikel Tides tentang laporan Komisi IV mengenai korupsi di Pertamina. Tides dianggap melanggar aturan embargo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada waktu-waktu selanjutnya, Sinar Harapan kembali disorot penguasa. Kala itu, SH menyinggung proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang diprakarsai Tien Soeharto.
“Padahal waktu itu tidak ada pernyataan embargo, tidak ada juga ketentuan bahwa ada
hold for release. Pada waktu itu saya menulis bahwa tidak semua hasil minyak masuk ke bujet negara, pengeluaran terbesar untuk militer dan Pak Harto,” tutur Tides.
Pemberitaan itu membuat panas telinga penguasa. Konsekuensinya, Sinar Harapan diperintahkan untuk ditutup. “Kalau SH masih mau terbit, boleh tapi tanpa saya. Waktu itu saya sudah
Managing Editor,” ujar suami dari Sasmiyarsi Sasmoyo ini.
Tides lantas diberangkatkan ke Amerika Serikat untuk sekolah. Sementara SH kembali mengantongi Surat Izin Cetak, Tides melanjutkan studi di
Stanford University dan
Harvard University selama dua tahun dan kembali tahun 1975. Tiba di Jakarta, dia mendapat informasi dari sumbernya bahwa pengasingan dia ke luar negeri adalah untuk dua hal.
“Pertama, untuk menyelamatkan SH agar bisa terbit lagi. Kedua, untuk menyelamatkan saya karena perintahnya untuk saya, ‘
kill’, ‘matikan’,” tutur Tides.
Pembredelan kembali terjadi tahun 1974 terkait peristiwa 15 Januari (Malari), disusul tahun 1978, dan tahun 1986. Yang terakhir ini adalah yang paling telak karena Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUPP) Sinar Harapan dibatalkan Soeharto setelah memuat
headline “Pemerintah Akan Cabut 44 SK Tata Niaga Bidang Impor”.
Sejak saat itu, Sinar Harapan tidak lagi terbit hingga keran kebebasan pers dibuka lewat keberadan Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999 di era Presiden Baharuddin Jusuf Habibie. Setelah tahun 1986, SH kembali terbit pada 2 Juli 2001.