Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah aktivis Greenpeace dan warga Batang, Jawa Tengah melakukan aksi protes terkait penutupan sawah oleh PT Adaro untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara yang akan dikerjakan di areal tersebut.
"Saat ini lahan sawah warga tidak bisa diakses karena dipagari seng. Padahal lahan itu masih 100 persen hak milik warga. Hal ini menyebabkan mereka tidak bisa mencari nafkah," kata Pemimpin Tim Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Hindun Mulaika saat melakukan aksi di dekat Gedung Adaro, Kuningan, Jakarta, Selasa (16/2).
Hindun berpendapat pihak Adaro tidak berhak melakukan penutupan sawah warga karena tanah itu masih dipertahankan warga. Ia mengatakan warga akan tetap mempertahankan tanah mereka meskipun Presiden Joko Widodo sudah meresmikan pembangunan PLTU Batang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sampai saat ini masih ada masalah pembebasan lahan yang dihadapi untuk pembangunan PLTU tersebut. Sebanyak 40 orang dengan total luas tanah 12,5 hektar belum mau menjual lahannya," katanya.
Salah satu warga Batang, Rokiban (50) juga mempertahankan tanah yang dimilikinya. Namun, ternyata lahan yang dimilikinya juga dipagari seng.
"Kami ditakut-takuti oleh aparat, baik yang berseragam maupun tidak. Kami mendapatkan tekanan agar mau menjual tanah kami," katanya.
Rokiban yang sehari-harinya bekerja sebagai nelayan mengaku khawatir akan kehilangan mata pencahariannya dengan adanya proyek PLTU tersebut. Bila ikan dan udang sedang melimpah, ia mengatakan bisa meraup keuntungan minimal sebesar Rp400 ribu per hari.
Warga Batang lainnya, Khumaidi (73), juga berpendapat senada dengan Rokiban. Khumaidi yang sehari-hari bekerja sebagai petani mengaku bisa panen sebanyak tiga kali dalam setahun.
"Sudah sekitar dua bulan lahan kami dipagari. Kami juga ditakuti, katanya kalau masuk ke lahan yang dipagari bisa dihukum penjara selama sembilan bulan," kata Khumaidi.
Adapun, Hindun mengatakan pihaknya telah menyerahkan pernyataan protes kepada PT Adaro tadi pagi. Namun, Hindun mengatakan pihak Adaro tidak meresponsnya.
"Kami akan terus memperjuangkan ini. Tidak adasolusi yang sama baik dalam proyek PLTU. Proyek ini selalu merugikan warga dan berdampak buruk pada lingkungan," katanya.
Hindun mengklaim PLTU Batubara Batang akan menimbulkan risiko kematian sebanyak 2.100 jiwa per tahun. Pencemaran udara berbahaya akibat proyek tersebut akan menyebabkan berbagai penyakit seperti gangguan pernapasan dan kanker.
"Sementara, berdasarkan penelitian Greenpeace terbaru, disebutkan ada risiko kematian 6.500 jiwa per tahun dari semua proyek PLTU di Indonesia," katanya.
Rencana pembangunan PLTU batubara telah tertunda selama empat tahun akibat penolakan yang kuat dari warga. Sebanyak 10 persen dari 226 hektar yang dibutuhkan proyek masih tersandung proses pembebasan lahan.
Adaro memegang saham terbesar atau sebanyak 34 persen dari PT Bhimasena Power, perusahaan konsorsium dalam proyek ini.
(pit)