Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membedah kesaksian eks General Manager Cabang Pelabuhan Palembang PT Pelindo II Indra Sigit. Keterangan Indra melengkapi berkas penyidikan tersangka sekaligus eks Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino.
"Indra Sigit diminta keterangannya untuk proses pengadaan Quay Container Crane tahun 2010," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha ketika dikonfirmasi, Kamis (25/2).
Indra Sigit, menurut Priharsa, bakal ditanya penyidik seputar proses pengadaan dan kebutuhan peralatan Quay Container Crane di Pelindo. Alat berat itu didatangkan Lino pada 2010 untuk Pelabuhan Panjang, Palembang, dan Pontianak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama pengadaan, KPK mengendus ada modus korupsi yang diduga dilakukan Lino melalui penunjukkan langsung perusahaan penggarap asal China, PT Wuxi Hua Dong Heavy Machinery, Ltd (HDHM). Lino sempat bertemu dengan bos perusahaan tersebut sebelum Maret 2010. Dalam pertemuan, Lino meminta perusahaan tersebut menggarap proyek.
Untuk memuluskan penunjukkan, Lino bahkan tak segan-segan memerintahkan Kepala Biro Pengadaan untuk mengubah aturan pengadaan. Semula, perusahaan luar negeri tak dapat mengikuti lelang namun setelah diubah, HDHM yang berasal dari China dimungkinkan mengikuti proses. Lino juga memerintahkan anak buahnya, "Selesaikan proses penunjukan HDHM."
Merujuk data paparan praperadilan KPK, Lino diduga menginstruksikan perubahan spesifikasi QCC yang dibutuhkan dari single lift ke twin lift. Lino melalui memo menuliskan instruksi “GO FOR TWINLIFT” pada Nota Dinas Direktur Operasi dan Teknik Ferialdy Noerlan Nomor : PR.100/I/16/BP-10 tanggal 12 Maret 2010.
Atas tindakan tersebut, KPK menduga ada kerugian negara sebanyak US$3,625 miliar atau sekitar Rp49,1 miliar. Penghitungan itu berdasarkan Laporan Audit Investigatif Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan penghitungan ahli teknik dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Selain itu, kerugian juga didapat dari peningkatan kapasitas yang semula hanya mampu mengangkat beban 40 ton menjadi 61 ton.
Lino disangka melanggar Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(obs)