Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Hakim Panel Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo mengaku sependapat jika Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16/2014 tentang kewenangan deponering Jaksa Agung harus dipertegas lagi. Penjelasan mengenai frasa "kepentingan umum" dalam pasal itu dibutuhkan untuk mencegah ketidakpastian hukum.
"Saya setuju, 'kepentingan umum' itu seperti apa dalam pasal ini harus dipertegas. Dasar seorang Jaksa Agung mengesampingkan perkara dengan alasan kepentingan umum seharusnya bisa lebih jelas. Jangan sampai kepentingan umum hanya jadi keranjang sampah," tutur Suhartoyo usai sidang di Gedung MK, Jakarta, Rabu (30/3).
Sementara menurut mantan Ketua MK Hamdan Zoelva, frasa "kepentingan umum" dalam Pasal 35 huruf c tersebut sulit untuk dipertegas lewat poin-poin tertentu. Hal ini karena, definisi kepentingan umum diberlakukan dengan melihat situasi setiap kasus tanpa bisa digeneralisasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Susah dibuat poin satu-satu karena kasus itu situasional. Karena kepentingan dan situasinya tidak bisa dibayangkan sebelumnya secara detail," ujar Hamdan ketika dihubungi.
Hamdan merupakan salah satu pihak yang sependapat bahwa kewenangan deponering oleh Jaksa Agung tidak bisa dihilangkan. Namun dia juga mendukung upaya setiap warga negara untuk mengkritisi keputusan deponering yang dibuat Jaksa Agung, yang pada 3 Maret lalu menetapkan untuk mengesampingkan perkara mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.
Menurut Hamdan, hal yang bisa dilakukan adalah memastikan bahwa Jaksa Agung telah menjalankan prosedur yang tidak melanggar hukum ketika memutuskan melakukan deponering. "Ini adalah kewenangan yang diperlukan Jaksa Agung untuk menghindari kerakusan. Tetapi tetap dapat diritik dan dikomentari. Yang penting prosedur yang dilalui sudah memenuhi prinsip," ujarnya.
Sementara itu, pihak pemohon menyambut baik pernyataan Hakim Konstitusi Suharyoto. Kuasa hukum pemohon, Sunggul Hamonangan Sirait, merasa senang dengan hasil sidang hari ini meskipun terjadi penundaan dan revisi.
"Kami sudah menangkap maksud MK, kami melihat Mahkamah sudah satu ide dengan pemohon bahwa bahwa kewenangan Jaksa Agung untuk deponering harus digunakan dengan hati-hati," tutur Sunggul.
Menurut Sunggul, Jaksa Agung seharusnya jangan serampangan dan wajib mempertimbangan rekomendasi dari lembaga negara terkait sebelum memutuskan mengenyampingkan suatu perkara.
"Jangan Jaksa Agung yang menafsirkan kepentingan umum itu. Wakil rakyat itu siapa sih? Kan anggota DPR. Jadi seharusnya DPR bisa lebih lebih representatif dari Jaksa Agung dalam menafsirkan kepetingan umum," ujar Sunggul.
Keputusan deponering diambil Jaksa Agung M Prasetyo pada 3 Maret lalu setelah berkonsultasi dengan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali, dan Ketua DPR Ade Komarudin. Meski Ade menyerahkan sepenuhnya kepada Prasetyo, namun sejumlah politikus di Senayan mempertanyakan langkah deponering tersebut.
Atas keputusan itu, Irwansyah Siregar dan Dedi Nuryadi mengajukan gugatan uji materi ke MK. Irwansyah dan Dedi dikenal sebagai dua dari sejumlah korban penganiayaan yang dituduhkan kepada penyidik KPK Novel Baswedan dalam kasus pencurian sarang burung walet di Bengkulu tahun 2004.
Pasal 35 huruf c yang ingin diuji Irwansyah dan Dedi berbunyi, Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum. Kepentingan umum dimaksud, seperti dalam penjelasan Pasal 35 huruf c adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.
(rdk)