Jakarta, CNN Indonesia -- Penghentian pembahasan dua rancangan peraturan daerah (raperda) terkait reklamasi direspons positif oleh para akademisi di bidang perkotaan. Pakar perkotaan Nirwono Joga menyatakan, penghentian pembahasan raperda itu harus diikuti dengan pembatalan proses reklamasi yang sedang berjalan di sejumlah pulau, dari 17 pulau yang direncanakan.
Yudi, sapaan Nirwono Joga, meminta Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama segera menerbitkan larangan kegiatan reklamasi di Teluk Jakarta. Langkah selanjutnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diminta melakukan tiga hal penting terkait penghentian pelaksanaan reklamasi tersebut.
“Tiga hal yang perlu dilakukan yaitu mengecek ulang semua izin prinsip, izin pengurukan, dan izin pemanfaatan ruang,” kata Yudi saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Rabu petang (13/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Yudi, hal kedua yaitu membahas kembali apakah reklamasi dihentikan sementara saja atau dihentikan secara permanen. Langkah kedua ini bisa dilakukan setelah mempelajari hasil pengecekan ulang terhadap izin prinsip, izin pengurukan, dan izin pemanfaatan ruang.
Izin ini harus diikuti dengan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). “Yang paling bijak adalah membatalkan secara permanen izin reklamasi yang telah diterbitkan dan menghentikan semua aktivitas di lapangan,” ujar Yudi.
Hal ketiga, lanjut Yudi, Pemprov DKI diminta menerbitkan grand design tentang upaya penyelamatan lingkungan. Karena selama ini, Pemprov DKI tidak pernah membagikan kepada publik mengenai desain penyelamatan lingkungan di area terdampak reklamasi.
Hal senada disampaikan Pakar Tata Ruang Yayat Supriatna. Menurut Yayat, aktivitas para pengembang reklamasi yang telah memulai proses pengurukan harus secara otomatis dihentikan setelah pembahasan dua raperda dibatalkan oleh DPRD DKI periode 2014-2019.
"Kalau dihentikan, otomatis harus dihentikan juga di lapangan, walaupun ada yang sudah proses. Dibiarkan saja dulu, tidak masalah," kata Yayat saat dihubungi CNNIndonesia.com.
Yayat juga meminta Gubernur DKI untuk mengkaji ulang kelayakan proyek reklamasi.
Melibatkan publik dalam upaya reklamasi seharusnya merupakan suatu keniscayaan bagi Pemprov DKI. Namun menurut Yudi, selama ini Gubernur DKI mengabaikan keberadaan masyarakat dan nelayan yang terdampak langsung dengan proyek kontroversi tersebut.
“Ini seolah hanya soal penguasa dan pengusaha saja. Lalu ada legislatif sebagai pihak yang ikut ambil peran dalam regulasi. Masyarakat sebagai penonton, nelayan sebagai korban. Seolah hanya itu,” kata Yudi.
Padahal secara langsung, lanjut Yudi, reklamasi bisa dikatakan sebagai proyek bunuh diri ekologi. Ada tiga alasan Yudi berpendapat demikian.
Pertama, reklamasi bisa menyebabkan penurunan muka air tanah antara 8-24 cm per tahun. Jika tidak diantisipasi, maka bangunan di wilayah Jakarta bisa rubuh. “Memang tidak serta merta dalam 1-2 tahun akan rubuh, tetapi kita akan rasakan 10-20 tahun mendatang,” tutur Yudi.
Kedua, air laut sudah masuk sampai ke Bundaran Hotel Indonesia. Kualitas air ini dipertanyakan karena payau dan bersifat korosif. Sifat korosif ini yang akan menyebabkan besi dan baja berkarat, berujung pada kerusakan sebuah bangunan.
Ketiga, lanjut Yudi, terjadi abrasi pantai karena hutan mangrove hanya tinggal 3 kilometer dari 32 km pantai utara dengan ketebalan hanya 50-100 meter. “Seharusnya jika Pemprov ingin menyelamatkan pantura, hutan mangrove itu dilebatkan, hutan pesisir ditambah, ruang terbuka hijau di daratan ditambah, bukan membuat pulau dan membuat RTH di situ,” kata Yudi.
Dalam hal ini, Yayat Supriata meminta Pemprov DKI berkoordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Selama ini, dia menilai pemerintah kurang komunikasi.
"Ada bagusnya untuk duduk sepakat menghasilkan satu suara," tutur Yayat.
Yayat mengusulkan dibentuk tim kecil atau tim teknis terdiri dari gabungan pemerintah pusat, Pemprov DKI, pengembang, tokoh masyarakat, dan para ahli. Tim ini dinilai efektif memberikan masukan kepada pengambil kebijakan agar keputusan yang ditetapkan tidak sepihak, melainkan melibatkan semua pemangku kepentingan. Bukan hanya ketidakterlibatan publik dan terutama nelayan yang menjadi sorotan utama para pakar. Yudi juga heran ketika perdebatan wacana reklamasi 17 pulau mencuat tahun 2005: apakah Jakarta kekurangan pulau hingga harus menguruk pantai untuk dijadikan daratan?
“Apakah Pemprov lupa bahwa Jakarta punya seribu pulau di depan? Apakah kurang sampai mau bikin 17 pulau lagi?” kata Yudi.
Yudi meminta Pemprov Jakarta mengajak para investor untuk membangun Kepulauan Seribu dan memanfaatkan potensi alam yang ada di kawasan tersebut, alih-alih memusingkan upaya reklamasi. Di kawasan itu, Pemprov Jakarta bisa membangun dermaga, memanfaatkan potensi laut, mendirikan bandara, dan mengembangkan resort.
Yudi menyebut, ada yang tidak tepat dengan cara berpikir Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Yang dimaksud Yudi yaitu seolah-olah melakukan reklamasi adalah hal yang mendesak hanya karena bisa mengantongi kontribusi 5 persen dan kontribusi tambahan 15 persen.
Persoalan cara berpikir Ahok lainnya, lanjut Yudi, adalah upaya untuk melengkapi reklamasi dengan tanggul untuk air baku bersih. “Padahal Jakarta punya 13 suang, kenapa sampahnya enggak diolah dulu agar sungai itu dapat dimanfaatkan sesuai fungsinya?” tutur Yudi.