Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga Non-pemerintah Pegiat Lingkungan WALHI menagih komitmen Pemerintah dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup terkait upaya penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam (SDA) yang masih marak terjadi.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI Nur Hidayati menyatakan pihaknya menagih bentuk perhatian pemerintah terhadap masalah lingkungan terkait dengan janji Jokowi sebelum menjadi Presiden yang menyatakan berkomitmen dalam hal kelestarian lingkugan.
Menurutnya, selama dua tahun masa pemerintahan, upaya dari komitmen pemerintah terkait kelestarian lingkungan dan SDA belum terlihat hasilnya secara signifikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dua tahun ini, kami lakukan evaluasi dan pengawasan. Tapi sejauh ini kemajuan tidak terlalu menggembirakan," ujar Yaya dalam di kantor WALHI pada Kamis (2/6).
Kurangnya konsistensi pengelolaan lingkungan, menurut Yaya ditunjukan dengan beberapa kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah yang justru berdampak buruk bagi kelestarian lingkungan dan SDA.
Salah satunya, menurut Yaya yakni kebijakan deregulasi perizinan berbisnis yang diterapkan pemerintah baru-baru ini. Selain itu, adanya kemudahan investasi serta pembangunan proyek besar untuk eksploitasi, menurut Yaya juga menambah potensi kerusakan lingkungan.
"Konsekuensi dari kebijakan ekonomi pemerintah seperti deregulasi perizinan, kemudahan investasi, dan eksploitasi justru memperparah situasi krisis lingkungan saat ini," kata Yaya.
Sebagai contoh, Yaya memaparkan persoalan kebakaran hutan di Sumatera tahun lalu. Terdapat sekitar 7568 titik api di Indonesia dengan Sumatera Selatan sebagai provinsi dengan titik api terbanyak.
Mulanya, menurut Yaya, penegakan hukum terhadap para terduga pelaku kebakaran hutan oleh pemerintah cukup terlihat dengan pemberian sejumlah sanksi kepada perusahaan pelaku pembakaran.
Namun seiring prosesnya, terlihat ada ketidakseriusan dari Pemerintah sendiri untuk menindaklanjuti masalah kebakaran hutan secara menyeluruh, salah satunya tindakan pemerintah yang mencabut sanksi 17 perusahaan di Riau yang kedapatan melakukan pembakaran hutan.
"Ini memperlihatkan ada kemandegan dari sikap Pemerintah sehingga belum ada perubahan yang signifikan terkait pencegahan kebakaran hutan," kata Yaya.
Selain itu, menurut Yaya, pengalokasian SDA dan hutan kepada rakyat sebesar 12,7 hektare dan 3 hektare lahan untuk reformasi agraria sebagai janji dari Pemerintah yang masih sulit dicapai merupakan bentuk kurangnya komitmen pemerintah dalam masalah pelestarian lingkungan.
Lebih lanjut, Yaya menyatakan kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah seolah mempermudah koorporasi menguasai dan mengeksploitasi SDA dan hutan Indonesia.
Pembangunan infrastruktur skala masif yang tertuang dalam Rancagan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional pun menurut Yaya bertentangan dengan semangat nawacita yang digembor-gemborkan pemerintah sebagai upaya melindungi lingkungan dan kesejahteraan rakyat.
Menurut Yahya, alasan menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan SDA sebagai pemenuhan kebutuhan dalam negeri menjadi argumentasi pemerintah mengesampingkan kerusakan lingkungan, pemerintah sendiri pada akhirnya tidak akan terlepas dari biaya kerusakaan lingkungan yang harus ditanggung negara dan masyarakat.
"Kita bisa lihat kan biaya lingkungan dan kerugian ekonomi yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan. Bukan hanya Indonesia bahkan negara tetangga pun kena imbasnya," tambahnya.
(pit)