'Operasi Militer dan Bayar Tebusan Bukan Solusi Bebaskan WNI'

Anggi Kusumadewi | CNN Indonesia
Selasa, 12 Jul 2016 11:31 WIB
Seiring desakan agar pemerintah Filipina menurunkan izin bagi TNI untuk masuk ke Filipina, pasukan militer negara itu menggempur kelompok Abu Sayyaf.
Pasukan militer Filipina mengepung militan Abu Sayyaf. Kelompok itu kerap menyandera ABK Indonesia. (REUTERS/Romeo Ranoco)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Republik Indonesia masih terus menimbang cara  terbaik untuk membebaskan sejumlah pelaut Indonesia yang diculik dan disandera. Hingga saat ini, total ada 10 anak buah kapal asal Indonesia yang diculik. Dari 10 ABK itu, tujuh orang diculik di Laut Sulu Filipina pada 20 Juni, dan tiga orang diculik di perairan Sabah Malaysia pada 9 Juli.

Pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana berpendapat pemerintah RI tak perlu melibatkan militer negeri sendiri, yakni Tentara Nasional Indonesia, untuk membebaskan para WNI yang disandera di selatan Filipina oleh militan Abu Sayyaf –separatis yang berbaiat ke kelompok radikal Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Jika mengirim TNI ke Filipina untuk memburu kelompok Abu Sayyaf, ujar Hikmahanto seperti dilansir Antara, “Indonesia bisa dianggap sebagai musuh yang harus diperangi oleh kelompok bersenjata itu. Sehingga di kemudian hari jika ada lagi WNI yang disandera, selain jadi umpan untuk mendapatkan uang, mereka bisa langsung dibunuh.”

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan demikian, menurut Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia itu, operasi militer berimplikasi buruk dan justru bisa membahayakan nyawa ABK Indonesia di masa mendatang.

Penyelesaian terbaik untuk saat ini, menurut Hikmahanto, ialah dengan menggelar perundingan dengan kelompok penyandera, tanpa melibatkan operasi militer dan membayar uang tebusan.

Dalam melakukan negosiasi, pemerintah RI disarankan Hikmahanto tidak diwakili oleh pejabat tinggi negara seperti presiden atau menteri. Cukup oleh Kementerian Luar Negeri melalui Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia.

“Kalau Presiden atau menteri yang turun tangan, penyandera semakin senang karena tindakan mereka mendapat perhatian nasional,” kata Hikmahanto.
Membayar tebusan pun dianggap Hikmahanto solusi salah kaprah dan tak etis di hadapan Filipina, sebab tindakan itu bisa dianggap sebagai bentuk dukungan logistik bagi kelompok penyandera yang notabene merupakan separatis yang tengah berhadapan dengan pemerintah Filipina.

Selain itu, membayar tebusan akan membuat para penyandera menjadi “ketagihan” untuk menyandera anak buah kapal asal Indonesia.

“Jika diselesaikan dengan uang seperti yang dilakukan pihak swasta pada peristiwa penyanderaan beberapa waktu lalu, WNI akan terus menjadi sasaran empuk kelompok bersenjata,” kata Hikmahanto.

Ia meminta masyarakat Indonesia bersabar dengan negosiasi pembebasan sandera, sebab perundingan dapat berjalan alot hingga hitungan bulan.

Selama ini pemerintah RI membantah pembebasan sandera melibatkan pembayaran tebusan. Namun sumber di lingkungan pemerintah menyatakan pembayaran tebusan memang terjadi, meski uang bukan dari pemerintah Indonesia.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan pemerintah RI tidak pernah mendukung kebijakan membayar tebusan meski keselamatan sandera menjadi prioritas.

Hal senada diucapkan Gatot. “Sesuai yang disampaikan Presiden Joko Widodo, yang diutamakan adalah keselamatan sandera. Tapi baik pemerintah Indonesia maupun Filipina tidak menghendaki pembayaran tebusan.”
Sementara meski opsi militer dianggap bukan pilihan bagus, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyatakan pasukannya sudah siap untuk masuk ke Filipina jika izin diberikan oleh pemerintah negara itu.

Gatot memandang pemerintah RI terlalu lembek, sampai-sampai penyanderaan ABK Indonesia terus berulang. Apalagi, penyandera yang memang terkesan mengincar WNI. Pada kasus terakhir di perairan Sabah, tiga ABK yang berpaspor Indonesia langsung dibawa kelompok penculik, sedangkan sisanya dibebaskan.

Pemilik kapal Malaysia yang dibajak di perairan Sabah itu, Chia Tong Len, menyatakan penculik memang menarget WNI. Ia berkata, tiga ABK berkewarganegaraan Filipina dan satu ABK yang tidak membawa paspor, dilepas begitu saja.

Gatot pun berujar, “Mungkin kita (Indonesia) terlalu persuasif. Berbagai kemungkinan harus dianalisis dengan benar. Kita tidak melakukan operasi militer, jadi mereka (penyandera) memanfaatkan celah itu. Kalau ada operasi militer, saya yakin mereka tak akan berani.”

Sang Panglima TNI mendesak pemerintah Filipina menurunkan izin bagi TNI untuk menggelar operasi militer di sana, sesuai kerangka kerja sama yang sebelumnya dibahas antara Menteri Pertahanan Indonesia dan Filipina bulan lalu.

Hari ini, Selasa (12/7), Menteri Pertahanan Indonesia, Malaysia, dan Filipina menggelar pertemuan di Kuala Lumpur untuk membahas kasus penculikan terbaru terhadap ABK Indonesia di perairan Sabah yang juga diduga dilakukan oleh kelompok Abu Sayyaf.

Seiring dengan pertemuan tiga negara di Malaysia terkait penyanderaan WNI, militer Filipina kemarin menyatakan serangan terhadap kelompok Abu Sayyaf di Pulau Basilan dan Sulu selama sepekan terakhir telah menewaskan 40 orang pemberontak, dengan 20 orang lainnya luka-luka.

Juru Bicara Komando Mindanao, Filemon Tan, menyatakan pertempuran besar antara pasukan pemerintah dengan anggota Abu Sayyaf masih berlangsung. Militer Filipina menggempur Abu Sayyaf dari darat dan udara.
(agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER