Jakarta, CNN Indonesia -- Jakarta gamang menyambut pendatang. Di satu sisi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuka pintu lebar-lebar kepada para pendatang berkeahlian. Namun memasang muka tak bersahabat kepada mereka yang tak memiliki keterampilan atau kecakapan khusus.
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta memprediksi jumlah pendatang tahun ini sekitar 70.000 orang. Dari jumlah itu, 70 persen di antaranya diyakini merupakan kelompok pendatang yang tidak memiliki keterampilan. Kelompok ini sangat berpotensi membebani kota Jakarta.
Kepada kelompok tersebut, Pemprov DKI Jakarta tak segan untuk mengusir jika terjaring dalam Operasi Bina Kependudukan dan terbukti tidak memiliki pekerjaan dan hunian tetap. Sikap Pemprov itu mendapat kecaman dari Komisioner Komnas HAM Hafid Abbas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Hak orang untuk bergerak itu dijamin oleh undang undang dan diadopsi secara universal. Jadi tak boleh ada pihak manapun yang melarang orang-orang datang ke Jakarta. Indonesia itu rumah bersama. Setiap warga punya hak yang sama,” kata Hafid kepada CNN Indonesia, Rabu (13/7) pagi di Jakarta.
Hafid juga mengkritik Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang dinilai kerap memusuhi warga miskin dan pendatang. Mereka dianggap hanya menambah beban persoalan di Jakarta. Membuat Jakarta semakin padat, tak sedap dipandang, dan rawan kejahatan.
Pandangan seperti itu seharusnya tidak perlu ada jika Ahok mau lebih serius mengelola persoalan kependudukan. Ahok, kata Hafid, bisa memulainya dengan belajar dari kota-kota padat di negara lain yang berhasil mengelola penduduknya tanpa gejolak sosial yang berarti.
“Bisa juga berkaca dan belajar dari kota-kota besar lain di Indonesia. Surabaya adalah contoh yang cukup berhasil dalam mengelola kepadatan penduduk,” tuturnya.
“Perlu ada sentuhan kemanusiaan agar mereka tak merasa dilecehkan, dimusuhi, apalagi diusir. Ahok jangan lihat orang miskin dan warga pendatang sebagai musuh yang harus diusir, digebuki. Itu hanya akan meninggalkan dendam dan keretakan sosial,” imbuh Hafid.
(wis)