-- Surat tertanggal 11 Januari 1913 dari Jaksa Agung Hindia Belanda A Bouwer kepada Gubernur Jenderal AWF Idenburg menjelaskan upaya pengucilan pendiri surat kabar Medan Prijaji, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo.
Surat itu menerangkan, Majelis Hakim di Betawi telah menyatakan Tirto bersalah karena menulis artikel yang menghina dan memfitnah Bupati dan Patih Rembang, Raden Adipati Djojodiningrat dan Raden Notowidjojo.
Vonis hukuman buang selama enam bulan itu dibacakan pada 24 Desember 1912 atas artikel bertajuk
Tirto pernah mendapat hukuman yang sama selama dua bulan yaitu pada 18 Maret-19 Mei 1910 ke Telukbetung, Lampung. Saat itu, Tirto memuat artikel berisi dugaan persekongkolan antara Calon Pengawas Purworejo A Simon dengan Wedana Tjokrosentono terkait pengangkatan Lurah Desa Bapangan, Distrik Cangkrep, Purworejo.
oleh Iswara N Raditya dan Muhidin M Dahlan, artikel itu terbit di Medan Prijaji Nomor 24 tanggal 30 Juni 1908 dengan judul
.
Artikel tersebut menceritakan kedatangan calon Lurah Bapangan Soerjodimedjo menemui Tirto di Bogor. Soerjodimedjo mengaku mendapat suara terbanyak dalam pemilihan namun tidak ditetapkan sebagai lurah, dan malah ditangkap serta dihukum.
Sebaliknya, calon lurah yang tidak didukung warga justru ditetapkan sebagai pemenang. Tirto melakukan investigasi atas persoalan tersebut.
Dia mengantar Soerodimedjo menemui Gubernur Jenderal JB van Heutsz—yang memerintahkan agar perkara pemilihan Lurah Desa Bapangan diperiksa.
“Dia (Soerjodimedjo) bercerita betapa permohonannya sudah diperiksa yaitu oleh snot-aap Aspirant Controleur dan oleh Mas Tojokrosentono, yang sudah memboikot Medan Prijaji,” tulis Tirto.
Artikel itu lantas digugat Simon ke pengadilan dengan dua tuntutan: menuduh Simon melawan kebenaran, dan penghinaan dengan menggunakan kata snot-app—dalam bahasa Belanda berarti monyet ingusan.
Gugatan pertama ditolak majelis hakim, sementara gugatan kedua terkait penghinaan masih terus berlanjut. Pada masa jabatan van Heutsz, kasus penghinaan ditutup, namun dibuka kembali oleh Gubernur Jenderal AWF Idenburg.
Pada masa Idenburg itulah Tirto dibuang ke Telukbetung. Dalam perkara dengan Bupati dan Patih Rembang, Tirto dianggap melakukan kesalahan yang sama terhadap pejabat umum sehingga kembali dibuang. Kali ini ke Ambon, Maluku.
Vonis dibuang enam bulan terbilang “ringan” lantaran Tirto memiliki forum privilegiatum sebagai seseorang dengan latar belakang bangsawan. Latar belakang itulah yang membuat Tirto tidak perlu menjalani hukuman penjara atau yang lebih berat lagi.
Namun hukuman itu ternyata lebih dari sekadar dibuang. Jika selepas dari Telukbetung Tirto masih mendapat sambutan hangat, bahkan menuliskan kisahnya selama di pembuangan dalam sejumlah artikel di MP, lain halnya dengan Ambon.
Tahun 1912 bagi Tirto adalah masa ketika dia tidak dapat lolos dari timbunan kesulitan. Dikutip CNNIndonesia.com dari
Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer, surat rahasia Bouwer kepada Idenburg di Batavia menyatakan, Tirto juga disandera sejumlah warga lantaran tak bisa membayar utang.
“Pada 22 Agustus 1912, Raden Mas Tirto redaktur kepala surat kabar Medan Prijaji yang penerbitannya dihentikan sejak 22 Agustus 1912 karena utang-utangnya, berada di Bogor dalam penyanderaan sipil,” tulis Bouwer dalam surat tertanggal 21 April 1913.
Penyanderaan itu mendapat ketetapan dari Pengadilan Bogor sekaligus mengabaikan forum privilegiatum yang dimiliki Tirto.
Jika menghitung periode 22 Agustus 1912-21 April 1913, berarti tak kurang delapan bulan siksaan batin itu Tirto alami. Tidak ada sahabat dan keluarga yang menebusnya. Tidak ada kejelasan berapa sebenarnya jumlah utang Tirto hingga harus disandera. Tuduhan-tuduhan penipuan terhadap dirinya pun tidak pernah disidangkan dalam perkara pidana.
Ajun Penasihat untuk Urusan Pribumi Dr DA Rinkes dalam surat kepada Idenburg tertanggal 24 Agustus 1912 menyatakan, Naamloze Vennotschap (NV) Medan Prijaji sudah lama berada dalam likuidasi. Kepemilikan Tirto atas Hotel Medan Prijaji yang terletak di Jalan Kramat Raya, Betawi, juga tidak jelas.
Tirto bahkan dituduh menggelapkan uang f750, tudingan yang tidak pernah diikuti dengan penuntutan. Hingga akhir hayatnya, segala tuduhan pidana yang pernah dialamatkan kepada Tirto, tidak pernah sampai ke muka pengadilan.
Tentang masa pembuangan Tirto di Ambon, hanya ada satu sumber tercetak yang menceritakan sedikit kisahnya yaitu S Hassannoesi—keponakan RM Hassannoesi yang rumahnya ditinggali Tirto. Dia menyebut Tirto sebagai sosok pemberani, terbuka hati, menyayangi anak-anak dan sesama manusia.
“Makannya sedikit sekali dan suka membaca buku-buku serta pendiam dan pendirian teguh,” tulis Hassannoesi.
Hassannoesi mengaku, dia mendengar Tirto berucap akan pergi ke Jepang jika masa pembuangannya sudah selesai dan mengajak Jepang meruntuhkan penjajahan di Hindia Belanda.
Selain itu, tidak ada jejak Tirto selama dalam penyanderaan, dibuang, hingga kembali ke Batavia. Bapak Pers Indonesia itu hanya disebut menghabiskan hari-hari terakhir hidupnya di Hotel Medan Prijaji, properti yang disebut miliknya namun diambil alih pihak lain.
“Sampai dengan meninggalnya pada 7 Desember 1918 dalam usia sangat muda itu, masih tetap tidak ada keterangan ia menderita sakit apa, dan mengapa dalam keadaan sakit bisa begitu lama tinggal di hotel,” tulis Pram.
Menurut Pram, para Penasihat Urusan Pribumi Hindia Belanda nampaknya memang telah berhasil menampilkannya sebagai orang yang tidak keruan.
Cicit Tirto, Raden Mas Joko Prawoto Mulyadi atau biasa disapa Okky Tirto, mengaku tak pernah mendengar kabar buyutnya tersebut. Menurut Okky, tidak ada tradisi kelisanan di dalam keluarganya, keturunan Tirto, yang menceritakan secara lengkap dan terbuka tentang sosok perintis pers pribumi itu.
“Cuma ayah saya berpesan, jangan bicara tentang Tirto jika belum baca buku Pram, Sang Pemula, makanya kami keluarga sangat berterima kasih kepada Pram,” kata Okky saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Jumat (19/8). Ayah Okky adalah RM Dicky Permadi Priatman, putra dari RM Priatman—putra sulung Tirto. Masa kecil Tirto yang buram membuat Pram terkejut mengetahui sepak terjangnya setelah tinggal di Batavia, “Tiba-tiba saja ia berkembang menjadi pengarang dan jurnalis dan dalam waktu hanya beberapa tahun telah menanjak ke puncak pada umur 20-21 tahun.”
Tirto lahir di Blora tahun 1880. Ada perbedaan tahun kelahirannya setelah putra sulung RM Priatman menulis syair berjudul
Di Indonesia 1875-1917.
Dalam syair tersebut ditulis tahun kelahiran Tirto adalah 1875 dan meninggal tahun 1917—yang dianggap Pram tidak akurat.
Saat CNNIndonesia.com mendatangi makam Tirto di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Blender, Kelurahan Kebon Pedes, Kecamatan Tanah Sereal, Kota Bogor, Jawa Barat, pada batu nisannya tertulis meninggal tahun 1875.
Terlepas dari perbedaan tersebut, masa kecil Tirto memang tidak banyak terekam dalam tulisan-tulisannya. Kata Pram, Tirto seakan langsung menjadi dewasa.
Kisah kedua orangtuanya pun samar-samar dituturkan dalam karya fiksinya berjudul
Busono. “Timbul dugaan, ia tak pernah mengenal orangtuanya. Yang berkali-kali disebut adalah kakeknya, dan dengan kekaguman dan hormat setinggi-tingginya adalah neneknya,” tulis Pram.
Kakek Tirto adalah Bupati Bojonegoro Raden Mas Tumenggung Tirtonoto II yang memerintah periode 1878-1888—peraih
Ridder Nederlandsche Leeuw, bintang tertinggi sipil Kerajaan Belanda.
Atas penghargaan itu, kakek Tirto tak mengucapkan terima kasih karena merasa semua itu sudah menjadi kewajibannya. Hal itu membuat kesalahannya mulai dicari-cari hingga dia diberhentikan dan meninggal di rumah mertuanya, Kanjeng Pangeran Aryo Hadinegoro, Solo.
Tak senang dengan perlakuan pemerintah kolonial, nenek Tirto, Raden Ayu Tirtonoto menyimpan kostum kebesaran mendiang suaminya di makam, lengkap dengan
Ridder Nederlandsche Leeuw yang akhirnya hilang.
Kekosongan jabatan Bupati Bojonegoro mengantarkan nenek Tirto menghadap Gubernur Jenderal Otto van Rees, meminta agar salah seorang putranya diangkat menjadi Bupati menggantikan almarhum suaminya. Permintaan tersebut sejalan dengan Fatsal 69
Regeerings Reglement (Peraturan Pemerintah).
Permintaan nenek Tirto ditolak van Rees, namun dipersilakan untuk mengajukan permohonan memperoleh tunjangan bagi anak dan cucunya. Giliran nenek Tirto yang menolak tawaran van Rees dengan alasan: tidak hendak meminta-minta sedekah, melainkan menuntut hak sesuai Fatsal 69 tersebut.
Tirto ada di sana saat kejadian itu sekitar tahun 1902—kelas 1 atau 2 sekolah dasar Belanda (
Europeesche Lagere School). Dengan cara itu pula dia dibentuk oleh neneknya sehingga Pram menyebut, pengaruh sang nenek cukup kuat dalam dirinya.
Tirto—memiliki sembilan saudara kandung yang seluruhnya memiliki jabatan penting di pemerintahan—memang tumbuh dalam sikap yang tidak takut pada kemiskinan dan tak khawatir menjalani hari tanpa pangkat. Cara yang tak dikenal dalam kasta bangsawan priyayi.
Penyimpangan dari kastanya itu yang membuat dia menghadapi banyak kesulitan.
“Kepandaian dan kesukaannya bicara, kecurigaan dan ketidaksenangannya pada ketidakadilan, berasal dari mana pun, terutama aparat kolonial, membikin ia tersisih dari saudara-suadaranya yang jadi aparat kolonial,” tulis Pram.
Tidak ada informasi lengkap mengenai riwayat tentang ayahnya, R. Ng. Hadji Moehammad Chan Tirtodhipoero, seorang pegawai Kantor Pajak, dan juga ibunya. Nama ibu Tirto bahkan tidak terungkap dalam
Sang Pemula.
Okky Tirto ketika dikonfirmasi mengenai silsilah keluarga Tirto juga mengaku tidak tahu. Raden Ayu Tirtonoto, nenek Tirto, juga tidak dapat dipastikan nenek dari siapa, apakah ayah atau ibu Tirto?
“Kemungkinan yang saya pikirkan, Raden Ayu Tirtonoto itu nenek dari keluarga ibu Tirto. Karena nama ayah Tirto adalah Moehammad Chan, yang tidak lazim sebagai nama priyayi Jawa di masa itu,” tutur Okky.
Saat berusia 13 atau 14 tahun, Tirto meninggalkan Rembang menuju Batavia. Dia melanjutkan School tot Opleiding van Indische Artsen/Stovia (Sekolah Pendidikan Dokter Hindia).
Kehadirannya sebagai siswa di Stovia dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa lantaran di masa itu jarang sekali seorang Raden Mas melanjutkan studi kedokteran. Penyandang gelar bangsawan lebih memilih sekolah calon pegawai negeri dengan gelar impian: Pangeran, Arya, Adipati, dan Tumenggung.
“Mudah dipahami, dokter adalah pekerjaan pengabdian, pegawai negeri pekerjaan memerintah,” tulis Pram.
Enam tahun di Stovia, Tirto dikeluarkan dari sekolah, tepatnya tahun 1900. Seorang wartawan yang lebih muda dari Tirto memberitakan: Tirto kedapatan mengeluarkan resep yang belum menjadi kewenangannya, untuk sahabatnya seorang Tionghoa miskin.
Okky tak bisa mengonfirmasi apakah informasi mengenai resep yang diterbitkan Tirto itu benar atau tidak. Namun sejauh yang dia perkirakan, kemungkinan Tirto dikeluarkan dari Stovia karena lebih senang menyibukkan diri dengan menulis ketimbang mengurusi sekolahnya di sana.
Dalam perjalanan hidup selanjutnya, Tirto menikahi Prinses Fatimah, putri Sultan Bacan Mohammad Sadik Sjah (1862-1889) tahun 1905. Pernikahan ini semakin menguatkan silsilah bangsawan yang sudah ada pada diri Tirto.
Selain kakek dan mertuanya yang merupakan bangsawan, empat kakak Tirto tercatat sebagai pejabat pemerintahan kala itu. Sebut saja Jaksa Kepala Rembang RM Tirto Adi Koesoemo, Bupati Blora RM Said, Raden Ayu RA Pringgowinoto di Tuban, dan Jaksa Kepala Banjarnegara Tirto Adi Winoto.
Belum lagi sepupu Tirto yang menjadi Bupati Madiun Raden Arjo Adipati Brotodiningrat. Namun lagi-lagi, hal itu tidak lantas membuatnya bertingkah seperti layaknya seorang priyayi. Dalam waktu cepat, Tirto sudah menguasai dialek Melayu-Betawi. Tirto bahkan menulis dan mengirimkan tulisannya ke berbagai surat kabar hanya satu tahun setelah tinggal di Batavia, sekitar 1895.
Pelajaran jurnalistik langsung lewat praktik memang dilakukan Tirto pada saat yang sama dengan periode sekolahnya di Stovia. Itulah awal perkenalannya dengan jurnalisme.
Media yang menjadi persinggahan pertama Tirto adalah Chabar Hindia Olanda, dilanjutkan membantu Pembrita Betawi, dan Pewarta Priangan terbitan Bandung.
Keberadaan Tirto di Pembrita Betawi membawa dia mengenal Karel Wijbrands tahun 1902, seorang warga negara Belanda yang memimpin surat kabar Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie—karena kantor redaksi kedua surat kabar itu satu atap.
Wijbrands—lahir di Amsterdam tahun 1863, dan meninggal di Betawi, 26 Mei 1929, adalah anak seorang pesuruh kantor. Dari Wijbrands, Tirto belajar mengelola penerbitan dan diajarkan untuk bisa memiliki dan memimpin terbitan sendiri.
Rasa hormat Tirto kepada Wijbrands terlihat dari sejumlah tulisannya. “Dalam pertikaian antara Wijbrands dengan lawan-lawannya, ia berpihak padanya,” kata Pram.
Pram juga menulis, “Pertemuan mereka berdua dapat diibaratkan persentuhan antara langit dan bumi. Tirto, karena sistem sosialnya, karena kebangsawanannya, adalah bala langit. Wijbrands bala bumi karena kejelataannya, seorang orang merangkak dari tangga paling bawah sampai menjadi tokoh Hindia yang ditakuti dan disegani.”
Semakin lama, Tirto semakin berani. Dia tak segan membongkar skandal, mengungkap ketidakadilan, dan merepotkan pemerintah kolonial dengan artikel-artikelnya yang bernas.
Salah satu kasus yang diungkap Tirto adalah skandal Residen Madiun JJ Donner yang melengserkan Bupati Madiun Raden Arjo Adipati Brotodiningrat (1885-1900). Brotodingrat sampai dimejahijaukan atas kasus yang diduga persekongkolan Residen dengan Patih dan Jaksa Kepala setempat.
Skandal itu terus bergulir hingga akhirnya Brotodingrat dihukum buang ke Padang. Keterlibatan Tirto lewat artikel-artikelnya di Pembrita Betawi membuat vonis bersalah terhadap Brotodiningrat dianulir: dianggap korban salah simpul dan keliru tafsir.
Sejumlah pihak menjadi narasumber utama Tirto artikel-artikel Tirto di kasus itu. Tirto tidak mengkhianati sumbernya dengan tidak menyebut nama mereka.
“Dengan demikian ini mendapat popularitas. Namanya mencuat ke langit, diakui sebagai jurnalis muda yang berani, tabah, dan informasinya benar,” kata Pram.
Kepemimpinan JB van Heutsz sebagai Gubernur Jenderal semakin mengukuhkan peran Tirto sebagai sang pemula jurnalisme oleh pribumi kala itu. Dalam artikelnya di Soenda Berita Th II Nomor 20, 17 Juli 1904, halaman 31-32, Tirto menulis artikel berjudul “Gouverneur Generaal Baru”.
“Sebelum van Heutsz surat kabar tidak bisa mencela pemerintah yang dijalankan tidak sepertinya oleh pegawai pemerintahan. Sekarang celaan, asal tidak menyerang kehormatan dan harga kesopanan orangnya, pegawai yang dicela, meski dengan perkataan tajam dan pedas pun diluputkan dari hukuman. Kelonggaran ini cukup untuk ikhtiar pers dalam tidak membenarkan kelakuan orang-orang berpengaruh yang berjalan bengkok,” tulis Tirto.
Lewat karya fiksinya Busono, Tirto mengaku, sebenarnya dia belum mengetahui etika jurnalistik saat mulai menulis skandal Donner. Namun pada akhirnya, persoalan etika jurnalistik pula yang membuat dia merasa terasing, mengalami kejatuhan mental, hingga tak terdengar lagi kabarnya.
Dari surat Jaksa Agung Bouwer kepada Gubernur Jenderal Idenburg, 21 April 1913, dapat diketahui bahwa Tirto telah mengungkap identitas narasumbernya terkait perkara Bupati Rembang.
Prinsip mulia dalam profesinya, yang telah lama dia pertahankan, untuk selama-lamanya akan mendakwanya. “Tindakannya yang melanggar kode etik jurnalistik ini untuk selanjutnya akan membuat ia tidak bisa berdamai dengan nuraninya sendiri,” tulis Pram.
Murid kesayangan dan pengikut Tirto, Marco Kartodikromo mengenang gurunya itu sebagai jurnalis yang berani menulis kesewenang-wenangan pemerintah kolonial Belanda. Tak terhitung berapa banyak pejabat yang diganggu Tirto lewat artikel-artikel pada berkala yang dia terbitkan pada waktu itu.
Sikap dan tindakan beraninya itu juga yang membuat Tirto menghabiskan waktu terakhir hidupnya dalam kemuraman. Mengutip Karya-Karya Lengkap Tirto, sebuah iring-iringan kecil—sangat kecil yang bukan kerabat atau kawan seperjuangan—mengantar jenazah Tirto ke tempat peristirahatan terakhir, 7 Desember 1918.
“Tak ada pidato-pidato sambutan. Tak ada pewartaan atas jasa-jasa dan amalan dalam hidupnya yang hanya berlangsung pendek.”
Pada 1973, pemerintah mengukuhkan Tirto sebagai Bapak Pers Nasional. Selanjutnya pada November 2006, terbit Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 85/TK/2006 yang mengesahkan Tirto sebagai Pahlawan Nasional bersama dengan Sri Sultan Hamengkubuwana I dan sejumlah pahlawan nasional asal Sulawesi Selatan.
Namun bagi Tirto, yang dia lakukan lewat Medan Prijaji dan berkala lainnya tak perlu mendapat penghargaan.
Mengutip pernyataan Tirto, “Saya seorang pengawal pikiran umum, yang berkewajiban membicara segala hal yang patut diketahui oleh orang banyak akan guna orang banyak serta menunjuk segala keadaan yang tidak layak akan kegunaan umum dalam surat kabar dengan tidak harus menerima sesuatu apa.”