Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers yang Dilupakan

Rosmiyati Dewi Kandi | CNN Indonesia
Senin, 22 Agu 2016 09:01 WIB
Mendapat gelar Pahlawan Nasional pada 2006 tak lantas membuat nama Tirto Adhi Soerjo mudah diingat meski kontribusinya melawan kolonial Belanda sangat besar.
Ilustrasi. (CNN Indonesia/Fajrian)
Masa kecil Tirto yang buram membuat Pram terkejut mengetahui sepak terjangnya setelah tinggal di Batavia, “Tiba-tiba saja ia berkembang menjadi pengarang dan jurnalis dan dalam waktu hanya beberapa tahun telah menanjak ke puncak pada umur 20-21 tahun.”

Tirto lahir di Blora tahun 1880. Ada perbedaan tahun kelahirannya setelah putra sulung RM Priatman menulis syair berjudul Di Indonesia 1875-1917.

Dalam syair tersebut ditulis tahun kelahiran Tirto adalah 1875 dan meninggal tahun 1917—yang dianggap Pram tidak akurat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat CNNIndonesia.com mendatangi makam Tirto di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Blender, Kelurahan Kebon Pedes, Kecamatan Tanah Sereal, Kota Bogor, Jawa Barat, pada batu nisannya tertulis meninggal tahun 1875.

Terlepas dari perbedaan tersebut, masa kecil Tirto memang tidak banyak terekam dalam tulisan-tulisannya. Kata Pram, Tirto seakan langsung menjadi dewasa.

Kisah kedua orangtuanya pun samar-samar dituturkan dalam karya fiksinya berjudul Busono. “Timbul dugaan, ia tak pernah mengenal orangtuanya. Yang berkali-kali disebut adalah kakeknya, dan dengan kekaguman dan hormat setinggi-tingginya adalah neneknya,” tulis Pram.

Kakek Tirto adalah Bupati Bojonegoro Raden Mas Tumenggung Tirtonoto II yang memerintah periode 1878-1888—peraih Ridder Nederlandsche Leeuw, bintang tertinggi sipil Kerajaan Belanda.

Atas penghargaan itu, kakek Tirto tak mengucapkan terima kasih karena merasa semua itu sudah menjadi kewajibannya. Hal itu membuat kesalahannya mulai dicari-cari hingga dia diberhentikan dan meninggal di rumah mertuanya, Kanjeng Pangeran Aryo Hadinegoro, Solo.

Tak senang dengan perlakuan pemerintah kolonial, nenek Tirto, Raden Ayu Tirtonoto menyimpan kostum kebesaran mendiang suaminya di makam, lengkap dengan Ridder Nederlandsche Leeuw yang akhirnya hilang.

Kekosongan jabatan Bupati Bojonegoro mengantarkan nenek Tirto menghadap Gubernur Jenderal Otto van Rees, meminta agar salah seorang putranya diangkat menjadi Bupati menggantikan almarhum suaminya. Permintaan tersebut sejalan dengan Fatsal 69 Regeerings Reglement (Peraturan Pemerintah).

Permintaan nenek Tirto ditolak van Rees, namun dipersilakan untuk mengajukan permohonan memperoleh tunjangan bagi anak dan cucunya. Giliran nenek Tirto yang menolak tawaran van Rees dengan alasan: tidak hendak meminta-minta sedekah, melainkan menuntut hak sesuai Fatsal 69 tersebut.


Tirto ada di sana saat kejadian itu sekitar tahun 1902—kelas 1 atau 2 sekolah dasar Belanda (Europeesche Lagere School). Dengan cara itu pula dia dibentuk oleh neneknya sehingga Pram menyebut, pengaruh sang nenek cukup kuat dalam dirinya.

Tirto—memiliki sembilan saudara kandung yang seluruhnya memiliki jabatan penting di pemerintahan—memang tumbuh dalam sikap yang tidak takut pada kemiskinan dan tak khawatir menjalani hari tanpa pangkat. Cara yang tak dikenal dalam kasta bangsawan priyayi.

Penyimpangan dari kastanya itu yang membuat dia menghadapi banyak kesulitan.

“Kepandaian dan kesukaannya bicara, kecurigaan dan ketidaksenangannya pada ketidakadilan, berasal dari mana pun, terutama aparat kolonial, membikin ia tersisih dari saudara-suadaranya yang jadi aparat kolonial,” tulis Pram.

Tidak ada informasi lengkap mengenai riwayat tentang ayahnya, R. Ng. Hadji Moehammad Chan Tirtodhipoero, seorang pegawai Kantor Pajak, dan juga ibunya. Nama ibu Tirto bahkan tidak terungkap dalam Sang Pemula.

Okky Tirto ketika dikonfirmasi mengenai silsilah keluarga Tirto juga mengaku tidak tahu. Raden Ayu Tirtonoto, nenek Tirto, juga tidak dapat dipastikan nenek dari siapa, apakah ayah atau ibu Tirto?

“Kemungkinan yang saya pikirkan, Raden Ayu Tirtonoto itu nenek dari keluarga ibu Tirto. Karena nama ayah Tirto adalah Moehammad Chan, yang tidak lazim sebagai nama priyayi Jawa di masa itu,” tutur Okky.

Saat berusia 13 atau 14 tahun, Tirto meninggalkan Rembang menuju Batavia. Dia melanjutkan School tot Opleiding van Indische Artsen/Stovia (Sekolah Pendidikan Dokter Hindia).

Kehadirannya sebagai siswa di Stovia dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa lantaran di masa itu jarang sekali seorang Raden Mas melanjutkan studi kedokteran. Penyandang gelar bangsawan lebih memilih sekolah calon pegawai negeri dengan gelar impian: Pangeran, Arya, Adipati, dan Tumenggung.

“Mudah dipahami, dokter adalah pekerjaan pengabdian, pegawai negeri pekerjaan memerintah,” tulis Pram.

Enam tahun di Stovia, Tirto dikeluarkan dari sekolah, tepatnya tahun 1900. Seorang wartawan yang lebih muda dari Tirto memberitakan: Tirto kedapatan mengeluarkan resep yang belum menjadi kewenangannya, untuk sahabatnya seorang Tionghoa miskin.

Okky tak bisa mengonfirmasi apakah informasi mengenai resep yang diterbitkan Tirto itu benar atau tidak. Namun sejauh yang dia perkirakan, kemungkinan Tirto dikeluarkan dari Stovia karena lebih senang menyibukkan diri dengan menulis ketimbang mengurusi sekolahnya di sana.

Dalam perjalanan hidup selanjutnya, Tirto menikahi Prinses Fatimah, putri Sultan Bacan Mohammad Sadik Sjah (1862-1889) tahun 1905. Pernikahan ini semakin menguatkan silsilah bangsawan yang sudah ada pada diri Tirto.

Selain kakek dan mertuanya yang merupakan bangsawan, empat kakak Tirto tercatat sebagai pejabat pemerintahan kala itu. Sebut saja Jaksa Kepala Rembang RM Tirto Adi Koesoemo, Bupati Blora RM Said, Raden Ayu RA Pringgowinoto di Tuban, dan Jaksa Kepala Banjarnegara Tirto Adi Winoto.

Belum lagi sepupu Tirto yang menjadi Bupati Madiun Raden Arjo Adipati Brotodiningrat. Namun lagi-lagi, hal itu tidak lantas membuatnya bertingkah seperti layaknya seorang priyayi.

Belajar Jurnalistik dan Kesalahan Etik

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3 4
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER