Dalam waktu cepat, Tirto sudah menguasai dialek Melayu-Betawi. Tirto bahkan menulis dan mengirimkan tulisannya ke berbagai surat kabar hanya satu tahun setelah tinggal di Batavia, sekitar 1895.
Pelajaran jurnalistik langsung lewat praktik memang dilakukan Tirto pada saat yang sama dengan periode sekolahnya di Stovia. Itulah awal perkenalannya dengan jurnalisme.
Media yang menjadi persinggahan pertama Tirto adalah Chabar Hindia Olanda, dilanjutkan membantu Pembrita Betawi, dan Pewarta Priangan terbitan Bandung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keberadaan Tirto di Pembrita Betawi membawa dia mengenal Karel Wijbrands tahun 1902, seorang warga negara Belanda yang memimpin surat kabar Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie—karena kantor redaksi kedua surat kabar itu satu atap.
Wijbrands—lahir di Amsterdam tahun 1863, dan meninggal di Betawi, 26 Mei 1929, adalah anak seorang pesuruh kantor. Dari Wijbrands, Tirto belajar mengelola penerbitan dan diajarkan untuk bisa memiliki dan memimpin terbitan sendiri.
Rasa hormat Tirto kepada Wijbrands terlihat dari sejumlah tulisannya. “Dalam pertikaian antara Wijbrands dengan lawan-lawannya, ia berpihak padanya,” kata Pram.
Pram juga menulis, “Pertemuan mereka berdua dapat diibaratkan persentuhan antara langit dan bumi. Tirto, karena sistem sosialnya, karena kebangsawanannya, adalah bala langit. Wijbrands bala bumi karena kejelataannya, seorang orang merangkak dari tangga paling bawah sampai menjadi tokoh Hindia yang ditakuti dan disegani.”
Semakin lama, Tirto semakin berani. Dia tak segan membongkar skandal, mengungkap ketidakadilan, dan merepotkan pemerintah kolonial dengan artikel-artikelnya yang bernas.
Salah satu kasus yang diungkap Tirto adalah skandal Residen Madiun JJ Donner yang melengserkan Bupati Madiun Raden Arjo Adipati Brotodiningrat (1885-1900). Brotodingrat sampai dimejahijaukan atas kasus yang diduga persekongkolan Residen dengan Patih dan Jaksa Kepala setempat.
Skandal itu terus bergulir hingga akhirnya Brotodingrat dihukum buang ke Padang. Keterlibatan Tirto lewat artikel-artikelnya di Pembrita Betawi membuat vonis bersalah terhadap Brotodiningrat dianulir: dianggap korban salah simpul dan keliru tafsir.
Sejumlah pihak menjadi narasumber utama Tirto artikel-artikel Tirto di kasus itu. Tirto tidak mengkhianati sumbernya dengan tidak menyebut nama mereka.
“Dengan demikian ini mendapat popularitas. Namanya mencuat ke langit, diakui sebagai jurnalis muda yang berani, tabah, dan informasinya benar,” kata Pram.
Kepemimpinan JB van Heutsz sebagai Gubernur Jenderal semakin mengukuhkan peran Tirto sebagai sang pemula jurnalisme oleh pribumi kala itu. Dalam artikelnya di Soenda Berita Th II Nomor 20, 17 Juli 1904, halaman 31-32, Tirto menulis artikel berjudul “Gouverneur Generaal Baru”.
“Sebelum van Heutsz surat kabar tidak bisa mencela pemerintah yang dijalankan tidak sepertinya oleh pegawai pemerintahan. Sekarang celaan, asal tidak menyerang kehormatan dan harga kesopanan orangnya, pegawai yang dicela, meski dengan perkataan tajam dan pedas pun diluputkan dari hukuman. Kelonggaran ini cukup untuk ikhtiar pers dalam tidak membenarkan kelakuan orang-orang berpengaruh yang berjalan bengkok,” tulis Tirto.
Lewat karya fiksinya Busono, Tirto mengaku, sebenarnya dia belum mengetahui etika jurnalistik saat mulai menulis skandal Donner. Namun pada akhirnya, persoalan etika jurnalistik pula yang membuat dia merasa terasing, mengalami kejatuhan mental, hingga tak terdengar lagi kabarnya.
Dari surat Jaksa Agung Bouwer kepada Gubernur Jenderal Idenburg, 21 April 1913, dapat diketahui bahwa Tirto telah mengungkap identitas narasumbernya terkait perkara Bupati Rembang.
Prinsip mulia dalam profesinya, yang telah lama dia pertahankan, untuk selama-lamanya akan mendakwanya. “Tindakannya yang melanggar kode etik jurnalistik ini untuk selanjutnya akan membuat ia tidak bisa berdamai dengan nuraninya sendiri,” tulis Pram.
Murid kesayangan dan pengikut Tirto, Marco Kartodikromo mengenang gurunya itu sebagai jurnalis yang berani menulis kesewenang-wenangan pemerintah kolonial Belanda. Tak terhitung berapa banyak pejabat yang diganggu Tirto lewat artikel-artikel pada berkala yang dia terbitkan pada waktu itu.
Sikap dan tindakan beraninya itu juga yang membuat Tirto menghabiskan waktu terakhir hidupnya dalam kemuraman. Mengutip Karya-Karya Lengkap Tirto, sebuah iring-iringan kecil—sangat kecil yang bukan kerabat atau kawan seperjuangan—mengantar jenazah Tirto ke tempat peristirahatan terakhir, 7 Desember 1918.
“Tak ada pidato-pidato sambutan. Tak ada pewartaan atas jasa-jasa dan amalan dalam hidupnya yang hanya berlangsung pendek.”
Pada 1973, pemerintah mengukuhkan Tirto sebagai Bapak Pers Nasional. Selanjutnya pada November 2006, terbit Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 85/TK/2006 yang mengesahkan Tirto sebagai Pahlawan Nasional bersama dengan Sri Sultan Hamengkubuwana I dan sejumlah pahlawan nasional asal Sulawesi Selatan.
Namun bagi Tirto, yang dia lakukan lewat Medan Prijaji dan berkala lainnya tak perlu mendapat penghargaan.
Mengutip pernyataan Tirto, “Saya seorang pengawal pikiran umum, yang berkewajiban membicara segala hal yang patut diketahui oleh orang banyak akan guna orang banyak serta menunjuk segala keadaan yang tidak layak akan kegunaan umum dalam surat kabar dengan tidak harus menerima sesuatu apa.”
(rdk/agk)