Peradilan terhadap Terpidana Mati Dinilai Tidak Adil

Prima Gumilang | CNN Indonesia
Jumat, 09 Sep 2016 06:56 WIB
Di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, vonis mati di Indonesia mengalami peningkatan. Tetapi hal itu tidak dibarengi oleh proses peradilan yang adil.
Proses peradilan terhadap para terpidana mati masih diwarnai oleh pelanggaran prinsip fair trial. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Eksekusi mati gelombang ketiga menyisakan beberapa masalah penegakan hukum terhadap para terpidana. Salah satunya adalah proses peradilan yang tidak adil atau unfair trial yang dialami para terpidana mati.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat sejumlah pelanggaran peradilan di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo. Misalnya permohonan grasi yang diabaikan oleh pemerintah.

Tiga terpidana mati yang telah dieksekusi pada gelombang ketiga telah mengajukan grasi. Humprey Ejike Jefferson mengajukan grasi pada 25 Juli 2016. Sack Osmane mengajukan grasi pada 27 Juli 2016. Sementara Fredi Budiman mengajukan grasi pada 28 Juli 2016.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketiganya dieksekusi mati saat menanti jawaban Presiden atas permohonan grasi mereka.
Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono menyatakan, Kejaksaan Agung seharusnya tidak dapat melakukan eksekusi mati. Pasalnya, hingga hari pelaksanaan eksekusi, para terpidana mati belum pernah mendapatkan keputusan presiden soal permohonan grasi yang telah diajukan.

Kejanggalan lain terjadi pada kasus Zainal Abidin. Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Zainal baru masuk ke Mahkamah Agung pada 8 April 2015 atau sepuluh tahun setelah berkas itu didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Palembang.

Pada 21 April 2015, berkas PK Zainal didistribusikan kepada tiga hakim agung, yaitu M Syarifuddin, Desnayeti, dan Surya Jaya.

Enam hari kemudian PK itu diputus, tepatnya pada 27 April 2015 atau selang dua hari sebelum Zainal dieksekusi mati.

Supriyadi mengatakan, proses tersebut menandakan bahwa Zainal telah dipastikan untuk dieksekusi meski putusan PK yang bersangkutan belum diputus oleh MA. Ia bahkan menyebut proses keputusan PK Zainal sebagai yang tercepat yang pernah dilakukan MA.
ICJR juga mencatat beberapa pelanggaran jaminan fair trial, misalnya dalam kasus hukuman mati Mary Jane Fiesta Veloso, Yusman Telaumbanua, Hillary Chimezie, dan Rodrigo Muxfeldt Gularte. 

Dalam kasus Mary Jane, terpidana mati asal Filipina yang selama persidangan dibantu penerjemah Bahasa Inggris-Indonesia. Namun dia cuma bisa mengangguk atau menggelengkan kepala ketika hakim bertanya lantaran hanya paham Bahasa Tagalog. 

Pelanggaran jaminan fair trial juga dialami Yusman Telaumbanua asal Nias, yang divonis mati pada 2013. Pengacara Yusman yang seharusnya membantu justru meminta kepada hakim agar kliennya dihukum mati.

Yusman dan tersangka lain bahkan mengalami siksaan di kantor polisi. Menurut hasil forensik gigi, usia Yusman juga dikategorikan sebagai anak antara 16-17 tahun.

Kasus lainnya dialami oleh Hillary K Chimezie, terpidana mati kasus narkotika asal Nigeria. Dia ditangkap tanpa barang bukti, lalu disiksa. Polisi juga menyiksa dua saksi lain untuk mengaku atas nama Hillary. Kedua saksi itu akhirnya mati dalam tahanan polisi.

Pada kasus Rodrigo Muxfeldt Gularte asal Brazil, ICJR mengatakan Rodriguez yang mengidap skizofrenia paranoid, dieksekusi dalam kondisi terganggu mentalnya.

Rodriguez dieksekusi pada 29 April 2015. Ia menjalani sidang tanpa pendampingan hukum yang memadai, tanpa penerjemah efektif.

Tren Tinggalkan Hukuman Mati

Koordinator MaPPI FHUI Anugerah Rizki Akbari mengatakan, tren global pada 2015 menunjukkan sebanyak 102 negara sudah tidak lagi menggunakan hukum mati.

Sebanyak enam negara masih menggunakan hukum mati untuk kejahatan serius. Sedangkan 32 negara telah melakukan moratorium hukuman mati.

"Tiga per empat negara dunia telah menghapus hukuman mati," kata Anugerah saat diskusi A Week of Celebrating Life: End Crime, Not Life di Plaza Indonesia, Jakarta, Kamis (8/9).
Tren itu tak berlaku di Indonesia, khususnya pada era Presiden Joko Widodo. Di era Jokowi, tuntutan dan vonis pidana mati meningkat di beberapa pengadilan.

Pada 2015, tuntutan hukuman mati yang diajukan jaksa sebanyak 76 orang. Sementara pengadilan menjatuhkan vonis mati kepada 37 orang.

Jumlah tersebut meningkat tajam jika dibanding tahun sebelumnya yang hanya memvonis enam orang.

Pada tahun ini, hingga Juni 2016, jumlah terdakwa yang dituntut hukuman mati sebanyak 26 orang. Pengadilan telah memvonis 17 orang di antaranya.
Mantan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim mengatakan, para terdakwa kasus narkoba tidak seharusnya dijatuhi hukuman mati. Sebab menurutnya, kasus narkoba bukan termasuk kejahatan serius, tapi kejahatan spesifik.

Hukuman mati, menurut Ifdhal, hanya bisa diberikan kepada para pelaku kejahatan serius, seperti kasus genosida dan pembunuhan berencana karena bersifat menghilangkan nyawa orang secara langsung. Sementara, kasus narkoba merupakan kejahatan spesifik yang hanya melukai dirinya sendiri.

"Jika menganggap kejahatan narkotik juga merupakan kejahatan serius, ini salah persepsi yang sangat fatal," kata Ifdhal. (wis)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER