Jakarta, CNN Indonesia -- Gelar perkara atas kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang digelar hari ini menjadi sejarah baru dalam penegakan hukum di Indonesia.
Sejarah baru itu bukan saja karena memeriksa petahana yang sedang berusaha mempertahankan posisinya lewat keikutsertaan di Pilkada 2017. Namun juga karena sifat terbuka dan pihak-pihak terlibat mengikuti gelar perkara.
Dalam proses hari ini, kepolisian tak hanya menghadirkan pihak pelapor dan terlapor, namun juga para saksi ahli, Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, Ombudsman RI dan anggota Komisi III DPR.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Banyaknya pihak yang terlibat dalam gelar perkara itu sangat berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya yang hanya diikuti oleh pihak internal kepolisian beserta pihak pelapor dan terlapor.
Namun sayang, di tengah komitmen Polri melibatkan pengawasan dari banyak pihak, Komisi III DPR justru sepakat tidak menghadiri gelar perkara itu.
Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengatakan alasan pihaknya tidak menghadiri acara tersebut untuk mencegah kesan politik atas kasus yang menjerat Ahok, sapaan Basuki. Pasalnya, sebagai lembaga politik, DPR tidak bisa lepas dari berbagai kepentingan partai politik yang ada di dalamnya.
Polri sendiri telah mengundang sebanyak 20 saksi ahli untuk turut hadir dan secara bergiliran memberikan pandangannya sesuai bidang keahlian masing-masing.
Melalui gelar perkara ini, penyidik akan memutuskan tentang kemungkinan adanya unsur pidana dalam kasus dugaan penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok. Jika ada, kasus ini akan dilanjutkan ke proses penyidikan.
Laporan hasil gelar perkara akan disampaikan kepada masyarakat paling lambat hari Kamis (17/11).
Gelar perkara kasus Ahok dilakukan setelah pemeriksaan awal telah selesai dan bisa dikumpulkan berkas pemeriksaannya.
Pada 7 November lalu, Ahok telah menjalani pemeriksaan di Bareskrim Polri. Ia dicecar 40 pertanyaan mengenai kegiatannya selama di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016, yang merupakan awal dari kasus tersebut.
Selain terhadap Ahok, Polri juga telah mendengarkan sejumlah orang sebagai saksi yang dianggap mengetahui peristiwa dan yang terkait dalam kasus tersebut.
Gelar perkara merupakan pegelaran proses perkara yang dilakukan oleh penyidik Polri dalam rangka menangani tindak pidana tertentu secara tuntas, sebelum diajukan kepada jaksa penuntut umum.
Gelar perkara diatur oleh sejumlah ketentuan, di antaranya UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, UU Nomor 2 Tahun 2003 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Petunjuk Pelaksanaan No. Pol: Juklak/5/IV/1984/Ditserse tertanggal 1 April 1984 tentang Pelaksanaan Gelar Perkara.
Gelar perkara meliputi perkara yang masih memerlukan pendalaman apakah memenuhi unsur-unsur tindak pidana atau tidak.
Dugaan penistaan agama oleh Basuki layak dilakukan gelar perkara karena memenuhi kriteria diberlakukannya gelar perkara. Salah satunya adalah perkara itu menyangkut keamanan negara dan Kepala Negara.
Sebagaimana diketahui, kasus Ahok sempat memicu terjadinya aksi demonstrasi besar di Jakarta, 4 November lalu. Ratusan ribu orang turun ke jalan memprotes ucapan Ahok soal Surat Al Maidah ayat 51 yang dianggap menistakan agama.
Dalam gelar perkara ini mutlak ditayangkan kembali video asli dan transkrip asli dari pidato Basuki di Kepulauan Seribu yang mengutip Surat Al Maidah.
Dari rekaman itu kemudian dikaji bersama melibatkan saksi ahli bahasa, ahli keagamaan, ahli hukum pidana, dan saksi lainnya.
Buni Yani, terduga penggugah pertama rekaman video Ahok di Kepulauan Seribu itu telah mendatangi Bareskrim Polri pada Kamis (10/11).
Pengacara Buni Yani, Aldwin Rahadian menegaskan kliennya mendatangi Bareskrim untuk memenuhi undangan guna diminta sebagai saksi.
Hasil gelar perkara ini akan memutuskan apakah pernyataan Ahok selaku pihak terlapor mengandung unsur tindak pidana penistaan agama atau tidak.