KPK: Suap Bupati Klaten, Kasus Jual-Beli Jabatan Pertama

Resty Armenia | CNN Indonesia
Sabtu, 31 Des 2016 17:36 WIB
Kasus ini agak signifikan di mata KPK, karena kasus ini adalah kasus yang pertama KPK yang berhubungan dengan memperdagangkan jabatan.
Aparat KPK menunjukkan barang bukti suap dengan total lebih dari Rp2 miliar dalam kasus pengisian jabatan di Pemkab Klaten. (CNN Indonesia/Resty Armenia)
Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode Muhammad Syarif memandang kasus suap terkait pengisian jabatan di lingkungan pemerintahan Kabupaten Klaten yang melibatkan sang bupati, Sri Hartini, merupakan kasus jual-beli jabatan pertama yang ditangani lembaga antirasuah.

"Kasus ini agak signifikan di mata KPK, karena kasus ini adalah kasus yang pertama KPK yang berhubungan dengan memperdagangkan jabatan," ujar Laode dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Sabtu (31/12).

Laode mengungkapkan, pihaknya tak jarang mendengar kabar bahwa banyak pegawai negeri sipil harus membayarkan sejumlah uang untuk mendapatkan posisi tertentu. Menurutnya, jika kabar tersebut benar, maka hal ini harus menjadi perhatian KPK.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Makanya, kami menganggap ini sebagai prioritas yang harus diperhatikan dengan baik. Ada beberapa hal yang harus betul-betul diingatkan, karena kalau semua orang untuk mendapatkan jabatan harus membayar, maka kita bisa bayangkan bagaimana kualitas pekerjaan orang tersebut," tutur dia.

Laode pun berpandangan, jika seorang pemimpin daerah menunjuk bawahan berdasarkan bayaran yang disetorkan kepadanya, maka otomatis pemimpin itu akan kehilangan otoritas moral untuk memberikan petunjuk atau perintah kepada bawahan yang telah membayarnya itu. Hal itu, tuturnya, sangat tidak baik dalam menciptakan tata kelola pemerintahan ke depan.

Karenanya, Laode meminta Kementerian Dalam Negeri untuk memperhatikan dan memonitor secara langsung proses penentuan orang-orang yang akan menduduki jabatan tersebut dalam rangka pemenuhan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.

"Oleh karena itu, KPK meminta Kementerian Dalam Negeri untuk menurunkan tim untuk hal ini, supaya prosesnya itu, kalau bisa, ada proses assessment dan seleksi terbuka untuk posisi-posisi tersebut," ujarnya.

Potensi Terjadi di Daerah Lain

Menurut Laode, kasus suap terkait jual-beli jabatan berpotensi terjadi di lingkungan pemerintahan daerah lain. Pasalnya, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah mengharuskan pemerintah daerah melakukan promosi dan mutasi jabatan dalam kaitan pengisian Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD).

"Memang berdasarkan PP tersebut, susunan organisasi dengan tata kerja itu ada struktur baru, sehingga memerlukan orang-orang baru. Yang paling berkuasa adalah pimpinan daerah. Oleh karena itu, tentunya ada kemungkinan hal ini tidak hanya terjadi di Klaten," katanya.

Ia melanjutkan, "Kedua, setelah ini, KPK banyak mendapatkan informasi. Karena banyak informasi baru, maka masih perlu diverifikasi bahwa hal-hal serupa juga terjadi di daerah-daerah yang lain."

Laode menegaskan, nilai uang yang disetorkan penyuap kepada Sri Hartini untuk membeli jabatan-jabatan yang diinginkan cukup bervariasi. Ia mengatakan, semakin tinggi dan strategis jabatan yang diinginkan, maka semakin banyak uang yang harus dibayar.

Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah memaparkan, besaran uang yang disetorkan setiap orang yang ingin menduduki jabatan tertentu berkisar mulai Rp50 juta hingga ratusan juta. Uang ini, paparnya, disetorkan kepada beberapa terduga pengepul.

"Ada beberapa pihak sebagai perantara, kemudian ada beberapa pihak yang ingin jabatan di pemerintah kabupaten. Pengisian jabatan itu turunan dari PP itu. PP itu mewajibkan bikin peraturan daerah, di peraturan daerah itulah disebutkan jabatan-jabatannya," katanya.

Sebelumnya, Bupati Klaten Sri Hartini diringkus setelah tertangkap tangan tengah melakukan transaksi jual-beli jabatan di rumah dinasnya. Selain Sri, KPK juga mengamankan tujuh orang lainnya, yakni staf PNS Suramlan (SUL), staf PNS berinisial NP, staf PNS berinisial BT, Kabid Mutasi berinisial SLT, staf honorer berinisial PW, serta dua orang swasta SKN dan SNS.

Di sana, diamankan pula barang bukti berupa uang sekitar Rp2 miliar dalam pecahan rupiah dan uang valuta asing senilai US$5.700 dan S$2.035. Selain uang tersebut, tim KPK juga mengamankan sebuah buku catatan penerimaan uang dari tangan NP.

Sri Hartini dkk yang diduga sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Sementara Suramlan diduga sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001.

(obs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER